BALI dan Bung Karno ada hal di luar nalar yang seolah mengikat keduanya. Jejak mistis Bung Karno diungkap orang-orang dekat hingga saksi hidup yang pernah merasakan aura mistik Bung Karno. Bung Karno tentu tidak bisa dilepaskan dari hubungan batin yang kuat dia dengan orang Bali.
Soekarno lahir dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai, perempuan Bali dari kasta Brahmana.
Cindy Adams pernah mengungkap kisah mistis Bung Karno dalam bukunya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang diterbitakan Yayasan Bung Karno dan Penerbit Media Pressindo tahun 2007.
Foto ibunda Bung Karno, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben yang termuat dalam buku Bung Karno
Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (Foto : wikipedia)
Wartawan asal Amerika yang dekat dengan Bung Karno itu berkata "Di Pulau Bali, orang percaya bahwa Soekarno adalah penjelmaan kembali Dewa Wisnu, dewa hujan dalam agama Hindu".
Di buku itu, Bung Karno berkata, "Setiap kali aku datang ke tempat istirahat yang kecil, yang aku rencanakan dan bangun sendiri di luar Denpasar (Istana Tampaksiring), kedatanganku bagi mereka berarti hujan, bahkan di tengah musim kemarau sekalipun."
"Orang Bali yakin, aku membawa pangestu kepada mereka. Saat terakhir aku terbang ke Bali, mereka sedang mengalami musim kering. Begitu aku mendarat, air tercurah dari langit. Jujur, aku mengucapkan syukur kepada Sang Maha Pencipta, bila turun hujan selama aku tinggal di Tampaksiring. Karena kalau ini tidak terjadi, sedikit banyak akan mengurangi pengaruhku," sambung Bung Karno.
Datangnya Bung Karno di Bali seakan menjadi berkah bagi petani Desa Singapadu, Gianyar. Pada pertengahan tahun 1960-an itu, mereka tengah berkumpul di salah satu sawah warga.
Ada yang beda di hari itu. Di saat desa masih masuk musim kemarau, mendung menyelimuti seharian.
"Bapak dan yang lain saling saling bertanya, apakah Bung Karno sedang berada di Bali," ujar Wayan Dibia yang ketika itu ikut ayahnya membantu menggarap sawah.
Dia menuturkan, Bung Karno biasanya menghabiskan waktu dua sampai tiga hari saat berada di Bali, tepatnya di Istana Tampaksiring.
Selama itu pula, langit Bali diselimuti mendung hingga turun hujan.
Dibia juga mengisahkan pengalamannya ketika bersama teman-temannya sekolah dasar (SD) diperintah sekolah menyambut rombongan Presiden Soekarno yang akan melintasi Jalan Raya Batubulan Gianyar.
Para guru dan siswa lalu berangkat dengan jalan kaki sekitar 10 kilometer dari sekolah mereka di Singapadu menuju Batubulan. Setibanya di jalan raya, mereka lalu membentuk pagar betis.
Di saat menunggu rombongan presiden lewat, hujan lebat turun. Hari itu, mendung memang sudah menyelimuti sejak pagi.
"Dengan seragam sekolah basah kuyup, semua tetap berdiri di pinggir jalan sambil mengibarkan bendera di tangan," imbuh Dibia.
Dibia yang kini telah pensiun sebagai guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu masih ingat betul, beberapa menit sebelum iring-iringan rombongan Presiden Soekarno akan melintas, hujan tiba-tiba saja terhenti.
"Mobil presiden dan rombongan tidak terlihat basah saat melintas," ungkapnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait