JAKARTA, iNewsBogor.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencium banyak tanda-tanda ketidakpatuhan pajak oleh Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal itu diketahui setelah KPK melakukan penelusuran terhadap kekayaan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Dengan demikian, ditemukan sebanyak 134 pegawai DJP yang memiliki saham. Ironisnya, saham tersebut tersebar di 280 perusahaan swasta yang bergerak di berbagai kegiatan bisnis. Lebih buruk lagi, saham itu atas nama istri mereka.
KPK berpendapat kepemilikan saham atas nama istri merupakan cara kerja ASN karena nilai perusahaan tertutup tidak perlu dicantumkan dalam laporan kekayaan pejabat negara atau LHKPN.
Oleh karena itu, jika ada Pegawai Negeri Sipil atau ASN yang memiliki saham di perusahaan swasta, maka besar kemungkinan mereka akan melakukan tindak pidana, kata KPK. Pasalnya, ini bisa menjadi pola tindak pidana korupsi dan pencucian uang atau TPPU.
“Apalagi perusahaanya di usaha konsultan pajak. Dia ada kemungkinan mengalirkan pembayaran ke perusahaan sebagai konsultan pajak, baru dari situ dia ambil uangnya,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan dikutip dari Katadata, Kamis (9/3/2023).
Lebih lanjut, Pahala menegaskan, KPK tidak mempermasalahkan ASN yang memiliki saham di perusahaan terbuka. Namun pemilikan saham di perusahaan tertutup dinilai dapat menjadi gerbang kejahatan, khususnya bagi pegawai pajak.
Pahala menjelaskan tujuan utama pegawai pajak adalah mengambil pajak dari wajib pajak sebesar-besarnya. Pada saat yang sama, wajib pajak akan berusaha membayar pajak sekecil mungkin ke negara.
Alhasil, pelanggaran yang paling mungkin muncul antara pegawai pajak dan wajib pajak adalah gratifikasi dari wajib pajak ke pegawai pajak. Pahala mengatakan pegawai pajak dapat menerima suap tersebut secara tidak langsung jika wajib pajak mengirimkan gratifikasi tersebut ke perusahaan yang dikempit pegawai.
Karena itu pula, Pahala mengatakan KPK akan merevisi Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Salah satu revisi yang akan dilakukan adalah mewajibkan seluruh Aparatur Sipil Negara atau ASN di instansi pelayanan publik untuk wajib mengisi LHKPN.
Pahala mengatakan instansi pelayanan publik adalah yang berinteraksi langsung dengan masyarakat dengan potensi penyelewengan, seperti bidang pertanahan dan pengadilan. Menurutnya, penyelewengan pada instansi tersebut tidak dilakukan langsung ke pejabat, namun kepada pegawai tingkat paling bawah.
“Orang enggak mungkin menyuap Kepala Kantor langsung, pasti melalui pegawai di bawahnya. Ini kami lihat ada di beberapa instansi, mainnya ke pegawai yang enggak wajib lapor LHKPN,” kata Pahala.
Editor : Ifan Jafar Siddik
Artikel Terkait