MACAO Po lokalisasi pelacuran terletak di depan Stasiun Beos atau sekarang disebut Stasiun Jakarta Kota. Kawasan prostitusi ini merupakan yang pertama di Jakarta dan bangunannya berupa rumah tingkat yang berada di depan Stasiun Beos.
Mengambil nama Macao Pao karena pelacur yang didadatangkan Macao. Mereka didatangkan mucikari Portugis dan China.
Para pelacur ini didatangkan untuk melayani tentara Belanda di sekitar Binnenstadt (sekitar kota Inten di terminal angkutan umum Jakarta Kota sekarang).
Kawasan Macao Po juga menjadi persinggahan orang China tajir yang mencari hiburan.
Tak heran, Macao Po identik dengan lokalisasi kelas atas bahkan pengunjungnya kebanyakan para pejabat VOC.
Pejabat yang ke sana juga terkenal sebagai pejabat hitam yang gemar bermain wanita dan korupsi.
Dikutip dari artikel “Prostitusi di Jakarta Dalam Tiga Kekuasaan, 1930-1959. Sejarah dan Perkembangannya” karya Lamijo, Rabu (10/11/2021) bahwa perkembangan fisik kota Jakarta sangat pesat dari kota pelabuhan tradisional di masa Sunda Kelapa menjadi kota Batavia di masa kolonial Hindia Belanda. Pada awal penjajahan Belanda tahun 1621 (masa kekuasaan Gubernur JP Coen) telah berkembang sistem pergundikan di Batavia yang menjadi cikal bakal perkembangan prostitusi di Jakarta.
Seiring perkembangan ekonomi dan fisik kota Jakarta serta peran dan posisi
Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, maka kawasan pelacuran atau prostitusi juga berkembang tidak terkonsentrasi di satu tempat saja. Di sebelah timur Macao Po (sekitar Jalan Jayakarta sekarang) bermunculan lokalisasi prostitusi kelas rendah bernama Gang Mangga. Saking terkenalnya Gang Mangga saat itu orang menyebut sakit sipilis dengan sebutan sakit Mangga.
Dalam perkembangan selanjutnya, tempat prostitusi Gang Mangga tersaingi rumah-rumah bordil yang didirikan oleh orang China dengan sebutan Soehian. Dikutip dari “Prostitution in Indonesia”, Working Paper in Demography (Research School of Social Sciences No 52) (Canberra: The Australian National University, 1995; Gavin W Jones, Endang S, dan Terence H Hull, kompleks pelacuran sejenis Soehian cepat menyebar ke seluruh Jakarta. Karena sering ribut, maka pada awal abad XX Soehian-Soehian di sekitar Gang Mangga kemudian ditutup pemerintah Belanda.
Pemicu ditutupnya Soehian adalah peristiwa terbunuhnya PSK ternama bernama Fientje de Fenick pada tahun 1919 di Soehian Petamburan. Setelah Soehian ditutup sebagai gantinya muncul kompleks pelacuran serupa di Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (Sawah Besar). Sampai awal tahun 1970-an Gang Hauber masih dihuni PSK, sedangkan Kaligot sudah tutup pada akhir 1950-an.
Masa tahun 1950 hingga 1960-an bisa dibilang banyak tempat prostitusi yang tumbuh subur di Jakarta seperti Jalan Halimun antara Kalimalang (dekat markas CPM Guntur) hingga Bendungan Banjir Kanal. Tempat lainnya tersebar di Kebon Sereh belakang Stasiun Jatinegara, Bongkaran, Tanah Abang, Kalijodo 29, serta Stasiun Senen.
Kemudian, pada tahun 1970-an ada lokasi prostitusi yang dilegalkan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yakni Kramat Tunggak yang awalnya berada di pinggiran utara kota Jakarta berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Sebelumnya pada 1950-an praktik prostitusi di Kramat Tunggak masih bercampur dengan rumah-rumah penduduk.
Pada masa itu tercatat sebanyak 1.668 pelacur dan 348 germo di Jakarta. Nah, ketika Kramat Tunggak diresmikan sebagai lokalisasi tercatat 300 pelacur dan 76 germo. Kramat Tunggak sebagai lokalisasi prostitusi akhirnya tamat pada tahun 1999 dengan dibangunnya Jakarta Islamic Centre oleh Pemprov DKI.
Editor : Vitrianda Hilba Siregar