JAKARTA,iNews.id - Kehadiran Partai Buruh yang digagas oleh Said Iqbal dan kawan-kawan membawa angin segar dalam kancah perpolitikan Tanah Air.
Partai Buruh dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yang sudah jenuh dengan polarisasi di tengah partai-partai yang hari ini bercorak elitis dan cenderung dikuasai oligarki
Direktur Eksekutif Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menilai, gerakan buruh sebenarnya menyimpan kekuatan yang dahsyat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2021, sebanyak 139,81 juta orang atau lebih dari separuh populasi Indonesia merupakan angkatan kerja. Sekira 78,14 juta di antaranya bekerja di sektor informal dan sisanya 61,67 juta bekerja di sektor formal.
Gerakan buruh memang belum terorganisir menjadi satu kekuatan yang terpadu secara politis, sehingga kerap dimanfaatkan untuk kepentingan elite tertentu dan menjadi penyangga partai politik tertentu.
Baik ketika momentum pemilu maupun ketika memprotes kebijakan pemerintah yang berkuasa. Hal ini menjadi catatan penting bagi gerakan buruh yang besar namun belum mencapai kemandiriannya.
"Dengan kekuatan yang sedemikian dahsyatnya, tidak mengherankan bila buruh menjadi rebutan partai politik khususnya saat pemilu. Namun, mau sampai kapan buruh dimanfaatkan? Mau sampai kapan buruh menumpang pada partai yang sesungguhnya tidak berpihak pada buruh? Sudah waktunya buruh menjadi penyeimbang tata kelola pemerintahan dengan terjun langsung ke politik melalui partainya sendiri yaitu Partai Buruh," imbuh R Haidar Alwi, Selasa (28/12/2021).
Sebelum Partai Buruh hadir, partai sejenisnya sudah muncul seperti Partai Pekerja Indonesia (PPI), Partai Buruh Nasional (PBN), Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia (PSPSI), Partai Solidaritas Pekerja (PSP), dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).
"Akan tetapi mereka tidak mendapatkan suara signifikan dalam pemilu 1999. Kegagalan ini pun berlanjut pada pemilu 2004 dan 2009. Sedangkan pada pemilu 2014 dan 2019 tanpa Partai Buruh, suaranya malah terpecah karena mendukung calon presiden tertentu," ujarnya.
Oleh karena itu, pengalaman membangun partai dan mengikuti pemilu sudah sepatutnya dijadikan pelajaran berharga bagi gerakan buruh.
Kegagalan yang pernah terjadi perlu dievaluasi untuk mempersiapkan gerakan yang lebih matang. Alih-alih membunuh semangat gerakan buruh dalam berpolitik, justru semangat tersebut diperlukan untuk mendorong agar imajinasi kekuatan buruh dapat hidup kembali.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta