JAKARTA, iNewsBogor.id - Ancaman siber yang makin merajalela telah mengundang sorotan terhadap kebutuhan Angkatan Siber dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pengamat Pertahanan dan Intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, menilai Angkatan Siber urgen untuk dibentuk, namun perlu didahului oleh penelitian dan studi banding.
"Saya berpandangan bahwa sebelum Angkatan Siber TNI dibentuk, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan penelitian dan studi banding yang komprehensif. Keterlibatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bisa menjadi bagian dari tahap ini untuk memastikan dasar-dasar yang kuat," ujar Susaningtyas kepada iNewsBogor, dikutip Jumat (25/8/2023).
Tantangan besar dari ancaman siber yang berpotensi datang dari luar negeri juga menjadi perhatian serius. Ancaman itu bisa berupa peretasan maupun disinformasi yang sengaja dihembuskan kepada warga Indonesia.
Untuk mengatasi hal ini, Susaningtyas mengatakan Angkatan Siber berperan dalam upaya perang kognitif untuk melindungi arus informasi masyarakat. Meski begitu, ia juga menekankan agar masyarakat meningkatkan literasinya.
“Kualitas literasi yang baik akan menjaga masyarakat dari pengaruh post-truth dan hoaks, yang pada akhirnya akan membantu dalam melancarkan perang kognitif," jelasnya.
Terkait rekruitmen anggota Angkatan Siber, Susaningtyas berpendapat bahwa keahlian di bidang siber menjadi syarat utama, baik itu dari kalangan sipil maupun TNI.
"Rekruitmen bisa melibatkan keduanya, yang penting adalah kemampuan di bidang siber. Mengenai pangkat, tentu ini harus dikaji dengan matang. Penentuan pangkat seperti bintang 3 atau 4 perlu didasarkan pada alasan yang jelas dan relevan," katanya.
Ia juga mengajukan pertanyaan penting terkait kemampuan Angkatan Siber. "Satu pertanyaan saya. Mau membangun Angkatan Siber, sudahkah memiliki kemampuan Helicopter View dan bukan googling melulu untuk melihat lanskap ancaman di salah satu infrastruktur kritis strategis nasional yang bisa berdampak pada keamanan nasional Network Cyber Attack Overview,” katanya.
Kepala Pusat Penerangan TNI, Laksamana Muda Julius Widjojono, juga memberikan pandangan terkait pembentukan Angkatan Siber. Ia menekankan pentingnya integrasi dengan lembaga lain yang memiliki unit siber serta perlunya mempertimbangkan struktur organisasi yang ada di negara lain.
Julius menegaskan bahwa sebelum membentuk Angkatan siber, langkah awal adalah memastikan adanya Control Operation Centre (COC) yang mengintegrasikan seluruh unit siber yang ada di Badan Intelijen Negara, TNI, dan Polri. "Supaya nanti kalau ada Angkatan siber, tidak tumpang tindih sama yang lain," kata Julius kepada iNewsBogor.
Pentingnya rekruitmen, pelatihan, dan pendidikan yang terstruktur dalam pembentukan Angkatan Siber juga menjadi sorotan Julius. Ia menggarisbawahi perlunya hierarki dan struktur yang jelas dalam organisasi tersebut.
“Bicara tentara berarti ada rekrutmen dari mulai Tamtama, Bintara, Perwira. Tamtama ini nama korpsnya apa, bagaimana cara merekrutnya. Bintara juga apa korpsnya. Sehingga ada pola pembinaan secara berjenjang dan berlanjut. Kemudian berapa idealnya jumlah anggota Tamtama, Bintara, Perwira. Karena kalau merujuk organisasi yang ideal maka harus ada hierarki,” kata Julius.
“Pendidikannya seperti apa? Ini sudah harus ada pemikiran seperti itu. Jangan tiba-tiba harus ada pasukan utuh besar,” imbuhnya.
Sementara itu, Pemerhati militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menganggap pembangunan kemampuan siber memang sangat penting untuk memperkuat pertahanan nasional dan kapabilitas negara. Namun, ia berpendapat bahwa wacana membentuk angkatan siber sekarang ini dianggap terlalu dini.
Menurutnya, sebaiknya pemerintah lebih dulu merumuskan visi keamanan siber. Visi ini akan menjadi panduan dalam mengembangkan kemampuan siber yang diperlukan untuk pertahanan nasional, serta merinci peluang dan tantangan yang mungkin muncul di masa depan.
"Termasuk bagaimana mengurusnya sesuai dengan wilayah ancaman, baik ancaman militer, nonmiliter, maupun hibrida," ungkap Khairul kepada wartawan, Senin lalu.
Lebih lanjut, dia menjelaskan saat ini serangan siber baru diakui sebagai salah satu bentuk ancaman dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN).
Namun, dalam regulasi tersebut, konsep ancaman siber belum didefinisikan dengan jelas. "Belum didefinisikan yang mask ke bentuk ancaman militer, nonmiliter, hibrida, atau bisa ketiga-tiganya," ujar Khairul.
Ketidakjelasan mengenai visi dan bentuk ancaman siber membuat rencana membentuk angkatan siber justru bisa dimanfaatkan sebagai alat penindasan oleh negara. Oleh karena itu, Khairul berpendapat bahwa pemerintah harus merencanakan langkah-langkah konkret untuk mengatasi potensi tersebut.
"Itu yang perlu dipastikan. Karena bagaimanapun, kekuatan militer potensial untuk dimanfaatkan penguasa," katanya.
Editor : Ifan Jafar Siddik