JAKARTA, iNewsBogor.id - Studi terbaru menunjukkan adanya korelasi positif antara tingkat pendidikan dan prevalensi gangguan kesehatan mental. Fenomena ini, menurut Coach Rheo, pakar trauma dan pencipta metode DOA Physio Psychotherapy, menjelaskan hal itu dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan perkembangan teknologi yang pesat.
Otomatisasi pekerjaan dan adopsi AI telah menciptakan ketidakpastian yang signifikan, memicu kecemasan dan depresi pada banyak individu terdidik.
Tahun 2025 menjadi titik kritis bagi Indonesia. Tekanan ekonomi dan perkembangan AI yang pesat telah memicu peningkatan masalah kesehatan mental, terutama di kalangan individu berpendidikan. Hal ini diungkapkan oleh Coach Rheo, yang melihat otomatisasi pekerjaan sebagai salah satu faktor utama.
“Tekanan ekonomi bukan sekadar angka di atas kertas; ini adalah realitas yang menghantam langsung kehidupan individu. Banyak profesional terdidik kehilangan pekerjaan karena AI menggantikan peran mereka. Banyak industri yang aman justru kehilangan stabilitasnya. Hal ini menciptakan beban mental berat dan memicu gangguan kesehatan jiwa,” ujar Coach Rheo kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 6 Desember 2024.
Coach Rheo memperingatkan bahwa ancaman AI terhadap lapangan kerja semakin nyata. Profesi yang sebelumnya dianggap aman, seperti musisi, desainer, dan arsitek, kini mulai terancam oleh otomatisasi.
Dia menyitir pendapat Hermawan Kertajaya yang menyebut munculnya 'Useless Generation', generasi yang keahliannya menjadi usang karena tergantikan oleh AI.
Lonjakan Angka Stres dan Bunuh Diri
Lonjakan angka bunuh diri dan kasus gangguan mental lainnya menjadi bayang-bayang kelam di tengah masyarakat kita. Coach Rheo mengingatkan kita akan bahaya yang mengintai, dengan data yang menunjukkan peningkatan drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Dari kasus mahasiswa yang mengakhiri hidupnya, hingga kekerasan dalam rumah tangga yang semakin sering terjadi, semua ini adalah tanda bahwa kesehatan mental kita sedang dalam kondisi darurat.
Data yang dihimpun dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa 720 ribu jiwa meninggal karena bunuh diri setiap tahun. Bunuh diri menjadi salah satu penyebab kematian paling tinggi di dunia dan ditemui pada remaja hingga dewasa dengan rentang usia dari 15 sampai 29 tahun.
Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri) menunjukkan kasus bunuh diri di Indonesia terjadi sepanjang tahun. Angkanya terus meningkat setiap tahun, bahkan bertambah hingga 60% dalam lima tahun terakhir.
Data menunjukkan, 1 Oktober 2024, Raphael David seorang mahasiswa Universitas Kristen Petra di Surabaya, tewas melompat dari lantai 12 kampusnya. Pada tanggal 18 September 2024, mahasiswi semester lima Universitas Ciputra, melompat dari lantai 22 gedung kampus tersebut.
“Pada 9 November 2024, empat orang satu keluarga di Penjaringan Jakarta melompat dari lantai 22 Apartemen Teluk Intan. Jika diteruskan seluruh daftar menyedihkan ini seperti tidak ada habisnya,” ungkap Coach Rheo prihatin.
Belum lagi fenomena KDRT, suami pukul istri, Koboy jalanan yang bekelahi main hakim sendiri. Termasuk viral kasus pengusaha yang memaksa anak SMA untuk sujud dan menggongong, cyberbullying di internet. Lalu ujaran kebencian dan permasalahan lain yang menciptakan fenomena "senggol bacok" dan gen "sakit mental" seolah menjadi hal biasa di berbagai belahan wilayah di Indonesia.
Generasi strawberry membutuhkan perhatian khusus. Coach Rheo menekankan pentingnya memberikan dukungan mental yang cukup bagi generasi muda agar mereka dapat tumbuh menjadi individu yang tangguh. Tekanan dari masyarakat, media sosial, dan tuntutan diri sendiri telah membuat banyak dari mereka merasa terbebani. Para pengusaha juga turut menyuarakan kekhawatiran mereka akan kurangnya etos kerja pada generasi muda.
Agar masyarakat tetap produktif dan memiliki kinerja yang baik, Coach Rheo menekankan pentingnya literasi informasi terkait kesehatan mental.
“Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Sayangnya literasi kita terkait hal ini masih rendah. Banyak yang tidak menyadari tanda-tanda awal gangguan mental atau ke mana harus mencari bantuan,” kata dia.
Coach Rheo mengajak semua pihak untuk meningkatkan edukasi dan kesadaran tentang pentingnya menjaga kebahagiaan mental.
“Informasi yang tepat dan akses terhadap bantuan profesional adalah kunci. Masyarakat perlu diberdayakan dengan pengetahuan agar bisa mengenali dan mengatasi masalah sejak dini,” tambahnya.
DOA TRTO: Solusi Inovatif Mengatasi Trauma
Menjawab tantangan ini, Coach Rheo memperkenalkan program DOA TRTO (Divine Oracular Assistance - Tension Releasing Technique Online) yang diciptakan Coach Rheo pada tahun 2020.
“Kami berkomitmen menjadikan DOA TRTO sebagai ‘world’s first multi-trauma elimination system’ yang diakui secara ilmiah di tahun 2025. Ini adalah kontribusi Indonesia bagi dunia dalam bidang kesehatan mental,” jelasnya.
Metode ini dikenal mampu menghilangkan beban emosi traumatik secara menyeluruh dan permanen. “Dengan DOA TRTO, individu dapat melepaskan diri dari belenggu masa lalu yang menghambat. Kami melihat banyak kasus di mana klien dapat melanjutkan hidup tanpa dibayangi trauma, dan menjadi bahagia,” papar Coach Rheo.
Sebagian besar sistem, kata Coach Rheo, lebih banyak berbicara tentang mengendalikan, memendam, berdamai dengan trauma, memanusiakan emosi, ikhlas, dan menerima keadaan, namun tidak berbicara menghilangkan. Runyamnya hal itu diyakini secara turun-temurun bahwa trauma tidak bisa hilang.
“Benar seperti itu, semua jurnal ilmiah di masa lalu masih membicarakan hal yang sama. Bahwa trauma tidak bisa hilang. Di sini DOA datang memberi pembaruan, sebuah metode yang terbukti bisa menghilangkan banyak trauma dalam pertemuan singkat,” terang Coach Rheo.
Coach Rheo berhasil menghilangkan lima sampai belasan trauma dalam satu pertemuan. Hal itu bisa diukur, dibuktikan, dikonfirmasi, dan ditanyakan kepada klien setelah keluhan trauma mereka hilang. Sebuah upaya yang sebelumnya tidak pernah bisa dicapai oleh metodologi lainnya.
Metode DOA TRTO telah diakui secara luas oleh para Konselor, Psikolog, Psikiater, Dokter, Dosen, dan mendapatkan penghargaan Emerging Award dari Himpunan Psikologi Indonesia pada Festival Karya Cipta Psikologi Indonesia di Kongres Luar Biasa HIMPSI 2024.
Editor : Vitrianda Hilba Siregar