Megamendung Berbenah: Dari Konflik Agraria ke Destinasi Ekowisata Ramah Lingkungan
BOGOR, iNewsBogor.id - Wilayah Megamendung, Kabupaten Bogor, yang dulu sempat dilanda konflik lahan pasca-Reformasi 1998, kini bertransformasi menjadi kawasan ekowisata yang ramah lingkungan dan berbasis masyarakat.
Camat Megamendung, Ridwan, mengatakan bahwa perubahan ini bukan terjadi secara instan, tetapi melalui proses panjang yang melibatkan pemerintah, investor, dan masyarakat.
“Dulu banyak terjadi penyerobotan lahan negara, hutan dan kebun teh digunduli. Tapi kini, sejak 2023 tidak ada lagi sengketa tanah,” ujar Ridwan kepada iNewsBogor.id, Rabu (8/10/2025).
Ridwan menjelaskan, masuknya investor seperti Eiger Adventure Land (EAL) dan Gym Station Indonesia (GSI) membawa dampak positif. Selain mereboisasi kawasan yang rusak, para investor juga membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar dan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

“Sungai Cisuka tetap aman dari banjir meski ada pembangunan. Artinya, pembangunan dilakukan dengan memperhatikan ekosistem,” tambahnya.
Akademisi Unpak: Harus Ada Sinergi Tiga Pihak
Pakar perencanaan wilayah dari Universitas Pakuan (Unpak), M. Yogie Syahbandar, menilai Bogor memiliki potensi besar dalam pengembangan wisata berbasis konservasi.
Menurutnya, kunci sukses ekowisata ada pada sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan korporasi (konsep triple helix).
“Perusahaan seperti Eiger bisa jadi akselerator. Tapi semua harus tetap dalam koridor pelestarian alam dan sosial budaya,” kata Yogie, yang juga Ketua Korwil ASPI Jabodetabek.
DPRD Ingatkan Soal Perlindungan Masyarakat
Anggota DPRD Kabupaten Bogor, Fahirmal Fahim, mengapresiasi pengembangan kawasan, namun mengingatkan agar masyarakat lokal tetap dilibatkan dan tidak terdampak negatif.
“Pemerintah harus beri ruang transisi dan pendampingan bagi pelaku usaha kecil yang belum sepenuhnya memenuhi ketentuan,” tegasnya.
Warga: Pembangunan Ekowisata Jangan Dihentikan
Di sisi lain, sejumlah warga yang menggantungkan hidup dari sektor ekowisata berharap tidak ada kebijakan sepihak yang justru menghentikan pembangunan. Atang (70), warga Desa Sukagalih, yang bekerja sebagai gardener di kawasan EAL sejak 2019, mengaku sedih karena tempat kerjanya disegel.
“Saya ikut menghijaukan lahan tandus jadi hutan lagi. Tapi kini saya dan anak-anak saya dirumahkan. Tolong pemerintah bijak melihat ini,” ujarnya lirih.
Kini, Megamendung bukan lagi sekadar tempat persinggahan menuju Puncak. Perlahan, kawasan ini menjelma menjadi simbol harapan bahwa rekonsiliasi antara manusia dan alam bisa terwujud, asal ada kemauan dan kolaborasi yang kuat.
Editor : Furqon Munawar