Legalitas Masih Bermasalah, Agrinas Diduga Langgar Aturan Pengelolaan Lahan Sitaan Negara
BOGOR, iNewsBogor.id – PT Agrinas Palma Nusantara (Agrinas), BUMN yang ditunjuk untuk mengelola lahan sawit sitaan negara seperti eks Torganda di Sumatera Utara dan eks Duta Palma di Riau, kini menjadi sorotan publik. Pasalnya, perusahaan ini disebut belum memiliki dasar hukum yang sah dalam menjalankan operasionalnya.
Menurut Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, hingga pertengahan Oktober 2025, Agrinas belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU), Nomor Induk Berusaha (NIB), serta masih menunggu Surat Keputusan pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Secara hukum agraria dan kehutanan, Agrinas belum bisa dikatakan sebagai subjek hak atas tanah. Mereka baru sekadar pengelola administratif sementara,” ujar Iskandar kepada iNews, Sabtu (18/10/2025).
Iskandar menambahkan, posisi hukum Agrinas saat ini rawan dianggap menggunakan kawasan tanpa dasar hukum yang tetap, merujuk pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI pada September 2025 lalu, Direktur Utama Agrinas, Jenderal (Purn) Agus Sutomo, mengakui adanya kelemahan legalitas perusahaan. Ia bahkan meminta dukungan berupa Instruksi Presiden (Inpres) untuk mempercepat proses pelepasan kawasan hutan.
“Bagi kami, permintaan Inpres itu justru bentuk pengakuan terbuka bahwa status hukum Agrinas masih rapuh, bahkan untuk ukuran BUMN,” jelas Iskandar.
Menurut IAW, penerbitan Inpres tidak serta merta memberikan hak legal atas tanah karena secara hukum, Inpres hanya bersifat koordinatif. Tanpa SK pelepasan kawasan hutan dan izin HGU, status Agrinas tetap tidak sah.
Kondisi ini diperburuk dengan munculnya dua gugatan hukum terhadap Agrinas. Di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan (Sumut), masyarakat adat dari tujuh desa menggugat Agrinas dan Satgas Penanganan Kawasan dan Hutan (PKH). Sedangkan di Riau, gugatan datang dari kelompok masyarakat yang mempertanyakan kejelasan izin pengelolaan lahan eks Duta Palma serta pelaksanaan program plasma yang tidak berjalan.
Audit IAW juga mengungkap tidak adanya pemetaan regulasi yang memadai di internal Agrinas. Laporan menyebutkan tidak ada unit khusus compliance, serta SDM operasional tidak memahami batas waktu tiga tahun pelaksanaan plasma sebagaimana diatur dalam Permentan 98 Tahun 2013 Pasal 40.
Berdasarkan temuan tersebut, IAW memberikan lima rekomendasi kepada pemerintah dan instansi terkait:
Lebih lanjut, IAW menilai Agrinas sedang terjebak dalam jebakan struktural sebagai BUMN baru yang mewarisi aset bermasalah, tanpa memperbaiki tata kelola.
“Ironisnya, Agrinas justru melanjutkan praktik lama. Ini bisa menjadi contoh maladministrasi oleh lembaga negara yang seharusnya menjadi teladan,” tegas Iskandar.
Audit BPK RI selama dua dekade terakhir (2004–2024) juga mencatat rata-rata keterlambatan pelaksanaan plasma mencapai 7,8 hingga 10 tahun. Beberapa perusahaan besar seperti Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas, Torganda, hingga Astra Agro tercatat sebagai pelanggar sistemik.
“Kalau BUMN saja tidak bisa patuh soal plasma, bagaimana negara bisa tegas ke swasta?” pungkas Iskandar.
Editor : Furqon Munawar