get app
inews
Aa Text
Read Next : Flyover Tenjo Siap Beroperasi, Solusi Baru Atasi Kemacetan di Kabupaten Bogor

Refleksi Demokrasi dan Ekonomi 2025: Tantangan Besar Menanti Pemerintahan Prabowo

Kamis, 11 Desember 2025 | 14:00 WIB
header img
Ilustrasi Ekonomi. Foto: Istimewa

BOGOR, iNewsBogor.id - Menjelang berakhirnya tahun 2025, diskursus mengenai masa depan demokrasi, keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan kembali menguat. Guru Besar Ekonomi Politik IPB yang juga pendiri INDEF, Prof. Didin S. Damanhuri, menyampaikan refleksi panjang terkait tantangan ekonomi politik Indonesia serta harapan terhadap pemerintahan Prabowo Subianto yang segera memasuki periode kepemimpinannya.

Dalam paparannya, Prof. Didin menegaskan bahwa arah pembangunan Indonesia harus kembali kepada amanat Konstitusi Pasal 33, yakni pembangunan yang demokratis, berkeadilan, dan berkelanjutan—baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologi.

Prof. Didin memaparkan bahwa sistem ekonomi nasional tidak boleh bertumpu pada pasar bebas semata, melainkan harus dibangun melalui perencanaan jangka panjang seperti GBHN, dengan negara yang kuat, bersih, dan efektif.

“Perekonomian harus disusun, bukan dibiarkan berjalan sendiri. Dibutuhkan negara yang kuat, birokrasi yang efisien, dan pelaku usaha yang inovatif agar tercapai demokrasi ekonomi yang menyejahterakan rakyat,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya kemitraan antara BUMN, swasta besar, UMKM, dan koperasi, sebagai model demokrasi ekonomi yang mampu menciptakan kesejahteraan merata.

Selain itu, pengelolaan sumber kekayaan alam (SKA) harus dilakukan secara efisien dan berkeadilan, sehingga manfaatnya kembali kepada rakyat, bukan hanya segelintir orang atau kelompok elit.

Lebih jauh, Prof. Didin menyoroti problem yang muncul selama era Reformasi, terutama dominasi oligarki ekonomi dan politik.

Menurutnya, sistem politik yang mahal, transaksional, dan sarat kepentingan membuat orientasi pembangunan bergeser dari kesejahteraan rakyat menjadi sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi—tanpa kualitas pemerataan.

“Ketimpangan justru meningkat. Aset nasional terkonsentrasi pada kelompok 1% terkaya. Demokrasi prosedural berjalan, tetapi substansi demokrasi—yakni keadilan sosial—semakin menjauh,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa indeks demokrasi Indonesia terus menurun sejak 2016, salah satunya karena melemahnya kontrol politik, maraknya legislasi yang tidak berbasis partisipasi publik, serta dominasi oligarki dalam proses pengambilan keputusan.

Prof. Didin juga mengkritik paradigma pembangunan yang terlalu GDP-oriented. Menurutnya, hal itu memicu efek “trickle-up”—yang berarti kekayaan mengalir ke pusat dan kelompok kaya, bukan menetes ke daerah dan rakyat seperti jargon klasik pembangunan.

Dampaknya:

  • deindustrialisasi,

  • pengeringan likuiditas daerah,

  • marginalisasi pedesaan,

  • ketimpangan antar-wilayah,

  • serta berkurangnya kesempatan kerja berkualitas.

Dalam refleksinya, Prof. Didin menyampaikan harapan besar kepada pemerintahan Prabowo Subianto agar mampu mengoreksi arah pembangunan sekaligus memperbaiki kualitas demokrasi.

“Reformasi sistem politik harus menjadi prioritas. Kita memerlukan negara yang aktif, bukan minimalis. Rule of law harus tegak, serta pembangunan mesti berpihak pada pemerataan dan keberlanjutan,” tegasnya.

Ia juga menegaskan perlunya:

  • revisi UU politik, BI, perbankan, pasar modal,

  • UU anti-monopoli yang lebih kuat,

  • penguatan KPK dan penegakan anti-korupsi,

  • pengembangan kewirausahaan rakyat dan teknologi nasional.

Dosen Universitas Paramadina Jakarta, Drs. Pipip A Rifai Hasan, memberikan respons senada mengenai refleksi Prof. Didin tersebut.

Menurut Pipip, problem demokrasi Indonesia bukan hanya soal prosedural, tetapi menyangkut kemerosotan nilai dan struktur kekuasaan.

“Kita melihat demokrasi yang makin transaksional. Harapan kita, pemerintahan baru bisa menghidupkan kembali kultur politik yang sehat dan berpihak kepada publik. Demokrasi tanpa pemerataan ekonomi hanyalah ilusi.”

Ia juga menambahkan bahwa keberlanjutan pembangunan harus disertai dengan tata kelola yang transparan dan partisipatif.

“Pembangunan berkelanjutan tidak akan tercapai tanpa integritas. Kita butuh kepemimpinan yang mendorong akuntabilitas, bukan sekadar membangun fisik,” tegas Pipip.

Para akademisi sepakat bahwa Indonesia membutuhkan:

  • sistem politik biaya rendah,

  • negara yang kuat namun demokratis,

  • ekonomi kerakyatan yang modern,

  • kemandirian pangan, energi, dan teknologi,

  • serta pembangunan yang berorientasi pada manusia (people-centered development).

Refleksi akhir tahun ini menjadi pengingat bahwa cita-cita keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat masih menjadi pekerjaan besar, terutama menjelang pemerintahan baru.

Editor : Ifan Jafar Siddik

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut