BOGOR, iNewsBogor.id - Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Peraturan ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan membentuk ekosistem kota layak huni di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) dengan menyediakan layanan dasar, sosial, dan fasilitas komersial.
Perpres dimaksud ditandatangani pada 11 Juli 2024 sekaligus memberi sinyal jika Presiden Jokowi akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 di Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagaimana keinginannya selama ini.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan siap untuk menjalankan aturan yang tertulis dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian ATR/BPN Suyus Windayana saat ditemui di Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Jakarta, Selasa (30/7/2024).
Pasca ditandatanganinya Perpres 75/2024, kontan memunculkan reaksi dari banyak pihak yang pro dan kontra. Yang pro beranggapan terbitnya Perpres akan semakin membuka jalan bagi banyak pihak untuk berkontribusi secara ekonomis maupun non ekonomis di IKN. Sementara yang kontra mempertanyakan klausul yang mengatur kepemilikan lahan. Khususnya klausul Pasal 9 (2) yang menyebutkan, “hak guna usaha untuk jangka waktu paling lama 95 tahun melalui satu siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk satu siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 95 tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi,”.
Pakar Sosiologi Lingkungan yang juga Dosen Ilmu lingkungan Fakultas Tekhnik dan Sains UIKA Bogor, Dr.Rimun Wibowo.M.Si berpendapat, bahwa pemberian HGU selama 190 (95 x 2 siklus) tahun untuk para investor akan memunculkan kekhawatiran dari berbagai pihak karena bertendesi menabrak aturan. “Perpres ini dianggap melanggar konstitusi karena bertentangan dengan UU 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang mengatur HGU maksimal selama 35 tahun dan bisa diperpanjang 25 tahun jika memenuhi syarat. Selain itu, juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007 yang mengatur pemberian hak tanah kepada investor, yang mengabulkan gugatan atas Pengujian Materi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pada Pasal 22 menyatakan bahwa tidak boleh memberikan masa HGU 95 tahun di muka sekaligus karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” paparnya.
Lebih lanjut, pendapat Rimun, dalam momentum penyusunan UUCK, UU 25/2007 (yang telah diuji materi ke MK) diubah dengan UUCK 11/2020 lalu diubah menjadi Perpu 2/2022 dan akhirnya menjadi UUCK 6/2023. Sebagai pengaturan lebih lanjut dari UUCK 11/2020 tentang HGU telah terbit PP 18/2021 yang menyatakan bahwa HGU diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 35 tahun (Pasal 22 (1). Artinya hal ini sudah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007.
Hal lain yang menjadi perhatian para pihak, kata Rimun, bila tafsir pemberian HGU satu siklus sekaligus 95 tahun selain melanggar regulasi yang telah diuraikan di atas juga berpotensi menghalangi hak warga negara atas sumberdaya milik bangsa Indonesia.
“Hal ini bisa terjadi karena begitu HGU diberikan secara sah tidak mudah dicabut begitu saja, walaupun mungkin investor wan prestasi. Jadi pada prinsipnya, yang penting menjadi concern bersama adalah kebijakan pemerintah agar lebih sesuai dengan kepentingan nasional dan tidak hanya menguntungkan pihak investor semata. Perlu ada keseimbangan antara menarik investasi dan melindungi hak-hak masyarakat serta lingkungan, yang merupakan cita-cita bangsa Indonesia sejak memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945,” tandasnya.
Sisi lain, Pasal 2 dari Perpres ini menjelaskan tujuan percepatan pembangunan untuk menyediakan dan mengelola layanan dasar seperti hunian, kesehatan, pendidikan, sosial dan budaya, energi, telekomunikasi, transportasi, air minum, sanitasi, fasilitas kedaruratan, pemakaman umum, ruang terbuka hijau, fasilitas olahraga, keagamaan, perkantoran, serta ketenteraman dan ketertiban umum. Selain itu, penyediaan fasilitas komersial mencakup hotel, pusat perbelanjaan, restoran, dan pusat rekreasi.
Sedangkan untuk menarik investor, Pasal 3 Perpres 75/2024 mengatur pemberian insentif dan fasilitas perizinan berusaha. Pasal 7 mengatur kontribusi pengelolaan Aset Dalam Penguasaan (ADP) oleh Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) kepada pelaku usaha pionir dengan tarif hingga Rp0,00 atau pembayaran secara angsuran. Pasal 8 mengatur penanganan masalah penguasaan tanah ADP oleh masyarakat. Kemudian Pasal 9 (1) menyatakan bahwa Otorita Ibu Kota Nusantara memberikan jaminan kepastian jangka waktu hak atas tanah melalui satu siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali satu siklus kedua kepada pelaku usaha, yang dimuat dalam perjanjian. Pasal 9 (2) menyebutkan bahwa siklus tersebut diatur sebagai berikut: hak guna usaha untuk jangka waktu paling lama 95 tahun melalui satu siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk satu siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 95 tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi.
Terkait konsesi lahan (HGU-red), yang memunculkan polemik banyak pihah, menurut Rimun perlu penjelasan agar penafsiran tidak menjadi liar di ranah publik. “Pertanyaan yang masih tersisa adalah apakah masa HGU 95 tahun pada Perpres 75/2024 tersebut dilakukan secara bertahap, atau maksud bertahap siklus pertama 95 tahun dan siklus kedua 95 tahun. Ataukah untuk mencapai 95 tahun itu dilakukan secara bertahap yaitu 35 tahun, 25 tahun, dan 35 tahun. Frase “berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi” pada Perpres 25/2024 Pasal 9 (2) harus dijelaskan secara jelas ke publik itu berlaku untuk yang mana,” tegas Rimun.
Akhirnya, Rimun memahami bahwa bila menuju 95 tahun secara bertahap, maka arti siklus 95 tahun yang diberikan kepada investor itu berupa perjanjian sebagaimana frase “yang dimuat dalam perjanjian” yang tertuang pada Pasal 9 (1). Artinya bukan hak atas tanah. Hal ini mengingat HGU baru berlaku secara sah sejak didaftarkan oleh Kantor Pertanahan dan pemegang HGU akan diberikan sertifikat Hak Atas Tanah sebagai tanda bukti hak (PP 18/2021 Pasal 24). Hal ini penting untuk diketahui oleh para investor.
Editor : Furqon Munawar
Artikel Terkait