Sementara itu, Kepala BSILHK, Ary Sudijanto, mengakui tantangan tidak hanya terkait jumlah laboratorium, tetapi juga distribusinya yang belum merata.
"Sebagian besar laboratorium teregistrasi berada di Sumatra dan Jawa. Di Kalimantan jumlahnya sangat sedikit, dan di Papua hanya ada satu laboratorium lingkungan yang teregistrasi," terang Ary.
Ia menambahkan bahwa minimnya laboratorium di daerah tertentu menyulitkan dalam pengukuran indeks kualitas lingkungan, seperti kualitas udara, air, dan laut.
Laboratorium yang belum teregistrasi tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga hasil pengujiannya tidak dapat dijadikan dasar dalam penyusunan dokumen lingkungan, pelaporan, maupun penegakan hukum.
"Kondisi ini sering memaksa pihak-pihak di luar Jawa untuk menguji sampel di laboratorium Jawa, yang pada akhirnya memengaruhi efisiensi dan akurasi data," kata Ary.
Hanif Faisol berharap setidaknya setengah dari total laboratorium yang terakreditasi dapat teregistrasi di KLHK dalam satu tahun ke depan. Namun, ia menggarisbawahi perlunya verifikasi lebih lanjut terkait jenis laboratorium yang terlibat, termasuk laboratorium lingkungan, kesehatan, dan pertanian.
"Kami akan teliti kembali jenis laboratorium tersebut agar registrasi berjalan optimal," ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya pengawasan yang lebih baik dan penegakan hukum berbasis bukti dari hasil laboratorium teregistrasi.
"Ke depannya, KLHK harus meningkatkan pengawasan terhadap kinerja laboratorium di berbagai daerah, termasuk yang dikelola swasta," tutup Hanif.
Editor : Ifan Jafar Siddik
Artikel Terkait