JAKARTA, iNewsBogor.id – Komisi XI DPR RI menyebut tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar minimal 40 persen dan maksimal 75 persen atas jasa hiburan seperti diskotek, karoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa, diberlakukan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah (Pemda). Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
"Jika Pemda ingin menetapkan aturan tidak memungut tarif pajak hiburan, maka perlu diterbitkan Perda mengenai sebagai kepastian dasar hukum. Pajak dapat tidak dipungut bila potensinya kurang memadai, atau bila daerah menetapkan untuk tidak memungut pajak hiburan tersebut,” ucap Waki Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi, saat dihubungi Jumat (26/1/2024).
Secara umum, UU HKPD bertujuan untuk mewujudkan desentralisasi fiskal guna memastikan kesejahteraan yang lebih merata untuk tiap daerah, serta memberikan ruang penerimaan daerah yang lebih luas.Dalam membuat kebijakan terkait pungutan PBJT, para kepala daerah harus memperhatikan Surat Edaran (SE) Kemendagri No.900.1/13/1_403_SJ.SE Mendagri tersebut mengamanatkan kepala daerah untuk memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha hiburan yang mekanismenya menggunakan UU 1/2022 tentang HKPD dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35/2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
"Sebagai solusi, sebenarnya dalam Pasal 101 ayat (3) UU HKPD cukup jelas tentang pemberian insentif fiskal terutama bagi wajib pajak yang merupakan pelaku usaha di bidang PBJT ini,” ucap Fathan.
Beleid dalam pasal 101 ayat (3) UU HKPD mengamanatkan gubernur, walikota, atau bupati untuk memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha demi mendukung kemudahan berinvestasi.
Fathan mengatakan, tindaklanjut atas pemberian insentif fiskal bagi pelaku usaha hiburan dilakukan dengan menggunakan Pasal 99 dalam PP 35/2023.
“Di mana insentif fiskal dapat diberikan atas permohonan wajib pajak atau diberikan oleh kepala daerah itu sendiri, tergantung pertimbangannya masing-masing,” paparnya.
“Intinya tiga peraturan ini memberikan ruang antara pelaku usaha dan kepala daerah untuk membuat kebijakan insentif fiskal. Tentunya, tujuan utama dari insentif ini untuk bagaimana usaha-usaha di daerah semakin berkembang dan memberi kontribusi pajak daerah yang signifikan,” sambung dia.
Pemberian Insentif Fiskal Harus Diawasi
Namun, pemberian insentif fiskal oleh Pemda pada pelaku usaha hiburan ini perlu diawasi secara ketat.Fathan mengingatkan, aktivitas atau lobi-lobi yang mungkin dilakukan dalam mewujudkan penerapan kebijakan insentif fiskal ini dapat memicu terjadinya penyimpangan moral (moral hazard), lantaran dapat diwujudkan hanya dengan menerbitkan peraturan kepala daerah (Perkada).
“Saya melihat di aturan-aturan yang ada bisa memunculkan moral hazard kepala daerah dengan kebijakan pemberian insentif fiskal. Ini yang harus betul-betul dijaga, mengingat kebijakan pemberian insentif fiskal atau pengurangan tarif PBJT cukup diterapkan melalui Perkada,” ucap dia.
Oleh karena itu, pembahasan Perkada insentif fiskal di tiap daerah harus dilakukan melalui mekanisme rapat dengan DPRD.
"Di situlah akan dilakukan filter atau kontrol kelayakan pemberian insentif fiskal kepada para pelaku usaha yg terkait PBJT. Dengan mekanisme ini, kita dapat mengurangi dan mengontrol potensi terjadinya moral hazard penerbitan Perkada terkait PBJT,” katanya.
Editor : Furqon Munawar