get app
inews
Aa Text
Read Next : UIKA Bogor Luluskan 495 Wisudawan dari Ahli Madya hingga Doktor

Pemerhati Sosial Politik asal Papua Bicara Soal Bahlil Lahaladia dan Spirit Kebangkitan Orang Timur

Jum'at, 14 Maret 2025 | 09:57 WIB
header img
Pemerhati Sosial Politik asal Papua, Lamati de Lamato. (Foto : Istimewa)

JAKARTA, iNewsBogor.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang juga Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahaladia belakangan tengah jadi sorotan publik menyusul protes dari Dewan Guru Besar UI yang meminta gelar doktoralnya dicabut.

Demi merespon desakan publik di internal maupun eksternal, pihak UI pun akhirnya melunak, dan hanya meminta Bahlil untuk menyempurnakan disertasi doktoralnya. Pro dan Kontra ditengah publik pun bermunculan, bahkan banyak yang beranggapan gelar doktor yang dberikan pihak UI sarat muatan kepentingan.

Terlepas dari hiruk pikuk publik terkait gelar doktor yang disandang Bahlil Lahaladia, pengamat sosial politik yang juga putra asli Papua, Lamadi de Lamato memiliki perspektif berbeda dalam memandang sosok Bahlil Lahaladia dengan segala kontroversinya selama ini. Lamadi memberikan tanggapannya itu lewat keterangan tertulis pada media, Jum’at (14/3/2025).

Lamadi de Lamato mengawali narasinya soal Bahlil Lahaladia dengan mengutip penggalan kata kata dalam buku Mega Trend 2000 karya Jhon Naisbith dan Patricia Aburdene, dirilis tahun 1990-an.

“Demokrasi di era modern, bukan lagi berbentuk nasionalisme kebangsaan tapi ia berbentuk nasionalisme lokal,” kutipnya.

Menurut Lamadi, “Ketika melihat fenomena Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM sekaligus Ketua Umum Partai Golkar "di bombardir" oleh publik dengan buruknya, saya teringat dengan ungkapan nasionalisme lokal yang di ulas oleh buku klasik di atas,” ujarnya.

Lamadi mengungkapkan bahwa di dalam nilai nilai demokrasi yang mengglobal, rupanya ada satu gejala yang bernama nasionalisme lokal menebal dlm setiap individu. Nilai-nilai itu bisa ditemukan dari kesamaan selera dan rindu akan kesamaan primordial.

“Sebagai orang timur dan di proses dalam dinamika organisasi PB HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) seperti Bahlil, saya merasa "marah" ketika ada tokoh timur dideskreditkan di negara ini,” tegasnya.

Pun yang terkait perkembangan terakhir dimana gelar Doktor UI Bahlil di umumkan dicabut, untuk selanjutnya sang menteri diminta untuk memperbaiki disertasinya karena dinilai cacat oleh Guru Besar UI.

“Dengan pongahnya UI menyebut proses akademik doktor yang ditempuh Bahlil penuh manipulasi. Pernyataan guru besar UI ini, sangat tidak logis, politis dan tendensius serta bagian dari hegemoni yang buruk,” kilahnya.

Guru Besar UI Bukan Malaikat

Terkait hal ini, Lamadi menilai pengumuman Dewan Guru Besar UI melalui sidang yang memvonis Bahlil, dengan putusan mencabut gelar doktor yang diperolehnya jelas menjadi preseden buruk dan sarat muatan politis. Terlebih dari sudut pandang agama sangat tidak bermoral karena dilakukan jelang Bulan Suci Ramadhan.

“Dilakukan saat puasa (Ramadhan-red) itu sangat tidak bermoral. Bahlil adalah putra asal Fak Fak yang kental akan keislaman berbasis lokal, terlebih sedang bersiap-siap untuk menjalankan ibadah dengan sakral, mendadak dikejutkan dengan berita buruk dari almamater yang merecoki gelar doktor yang ia peroleh,” tandasnya.

Lamadi juga mengingatkan, guru besar bukanlah manusia suci se level Tuhan. Mereka tak lebih dari sekumpulan manusia profan yang diberi otoritas sosiologis untuk menggunakan simbol-simbol guru besar yang menempel dalam diri mereka guna membangun rule yang bersifat antisipatif, bukan memvonis. Dan mengumumkan pencopotan gelar doktor Bahlil sama dengan tindakan memvonis yang tidak terpuji.

Lamadi yang jebolan Yale University, Connecticut USA ini berpandangan, kronologi Bahlil mengambil program doktor di UI, tidak ujug-ujug masuk menggunakan privilige power jabatannya. Bahlil menyadari hilirisasi sebagai kebijakan baru dan butuh kajian ilmiah. Bahlil melakukan kerja-kerja dialogis dengan seorang dosen penguji UI yang kebetulan bekerja di kementerian yang dipimpinnya. Dialog itu bukan sekedar obrolan biasa melainkan berbasis ilmiah dan intelektual.

Sebagai menteri investasi dan (pernah menjadi aktifis dari bawah), dialog itu menyentuh dua hal. Pertama, Bahlil ingin memastikan kebijakan hilirisasi dapat memberi manfaat kepada pribumi pemilik lahan di daerah. Kedua, pemerintah punya blue print yang presisi dalam mengkonsolidir kebijakan hilirisasiyang kuat dan pro rakyat.

Dengan dialog dan visi akademik yang beyond, Bahlil pun memutuskan untuk studi di UI sembari menjadi menteri investasi yang visioner. Dengan gagasan itu, Bahlil pun tancap gas menyelesaikan studinya dengan waktu yang cepat tapi tetap dengan kualitas yang tidak kaleng-kaleng.

“Sebagai aktifis dan juga pernah studi pasca di filsafat UI, Bahlil di mata saya adalah seorang intelektual (juga menteri) yang sangat langka utk konteks orang timur yang memajukan karir dan visi akademik dalam satu kesempatan yang super sibuk . Makanya ketika gelar doktor yang diperolehnya hingga dicabut oleh sidang guru besar UI, saya pun memprediksi motif dibalik keputusan tersebut syarat dengan hegemoni yang bersifat dominasi dan struktural,” paparnya.

Bahlil adalah Aset Bangsa, Jangan Recoki

Kata Lamadi mengutip Eriyanto dalam buku Analisis Kritis, mencurigai berita yg dibuat di ranah publik bersifat netral. Yang ada berseliwerannya berita memojokkan seseorang seperti yang dilakukan oleh UI, Guru besar dan publik kepada Bahlil sebagai putra terbaik asal Timur tak lebih sebagai praktek hegemoni yang sudah lama dilakukan oleh negara ini (baca: Indonesia) lewat stigma yang dibangun.

“Praktek hegemoni yang menyebut orang timur identik dengan miskin, tertinggal, bodoh dan tukang mabuk adalah bagian dari menjadikan orang yang berasal dari timur terjajah secara psikologis, sosiologis hingga politik. Bukti tentang itu terlalu banyak untuk saya sajikan,” jelasnya.

Sejak reformasi 1998, aktifis orang dari wilayah timur seolah menemukan kebangkitan untuk maju dan melawan stigma itu. Dan Bahlil adalah satu dari produk kebangkitan itu, hadir di bangsa ini dengan menunjukan bahwa dgn keterbatasan, stigma dan hegemoni yang bersifat struktural dan kultural. Ia mampu bangkit dan tumbuh sebagai anak kampung, miskin dan terbatas lalu melejit sebagai produk dari kegigihan anak timur yang meraih sukses di ibukota telah menginspirasi generasi Timur lain selain Papua.

Lamadi ex Juru Bicara Gubernur Papua ini, menuturkan bahwa Bahlil juga adalah cerminan dari jutaan anak timur lainnya di luar Papua, yang dengan keterbatasannya tidak menghalangi semangatnya untuk bangkit dan berkontribusi. Menstigma Bahlil dengan cara-cara buruk dan tak bermoral, sama saja negara ini mencoba membangun memori passionis terhadap disparitas kebangsaan timur dan barat dalam dikotomi ekstrim.

“Berhentilah menstigma tokoh dari timur, jika nasionalisme lokal yang bersifat konsolidatif itu tidak ingin bangkit dalam gerakan baru yang bersifat reaksioner destruktif. Bahlil itu aset dari Timur yang akan terus berkilau karirnya, kendati serangan menjatuhkannya begitu masif dilakukan,” tutupnya.

Editor : Furqon Munawar

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut