Indonesia di Tengah Dinamika Geopolitik: Antara Risiko dan Peluang
JAKARTA, iNewsBogor.id – Di tengah konflik geopolitik global yang kian memanas, Indonesia dihadapkan pada tantangan sekaligus peluang strategis. Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menilai dinamika dunia saat ini membuka ruang bagi Indonesia untuk tampil sebagai kekuatan penyeimbang global.
“Diplomasi Indonesia yang semakin aktif dalam forum Global South dan BRICS+ menunjukkan upaya bertahan sekaligus eksis di tengah ketidakpastian global,” ujar Didik dalam pernyataan resmi, Rabu (25/6).
Menurutnya, langkah ini merupakan bentuk konkret dari politik luar negeri bebas aktif yang selama ini dipegang teguh Indonesia.
Pertemuan puncak BRICS pada 6–7 Juli 2025 mendatang, yang akan dihadiri lebih dari 30 kepala negara dan organisasi internasional, disebut Didik sebagai momentum penting.
“Ini sinyal bahwa BRICS akan menjadi kekuatan global yang signifikan, meski belum memiliki aliansi militer,” tegasnya.
Didik juga menyoroti transformasi arah global menuju tatanan multipolar. Selain Amerika Serikat dan China yang terus bersaing, ia menyebut kekuatan baru seperti Uni Eropa, India, Turki, Iran, Brasil, serta negara-negara ASEAN semakin menentukan arah regional.
Lebih lanjut, Didik menyoroti dampak perang dagang dan teknologi antara Amerika Serikat dan China. Pelarangan ekspor chip canggih dan pembatasan teknologi kecerdasan buatan (AI) ke Tiongkok oleh AS, dibalas dengan strategi kemandirian teknologi dari Beijing. Konflik ini, menurutnya, telah memicu fragmentasi ekonomi global dan lahirnya pola baru deglobalisasi.
“Dunia bergerak ke arah friend-shoring dan pemisahan blok ekonomi antara Barat dan Timur,” kata Didik.
Di sisi lain, krisis iklim kian memperburuk situasi. Transisi energi global kini tidak terhindarkan dan menjadi tekanan besar bagi semua negara, termasuk Indonesia.
Namun di balik ancaman itu, tersimpan peluang besar. “Krisis multidimensi saat ini justru membuka jalan bagi Indonesia untuk memimpin dalam pengembangan industri hijau,” ujar Didik. Ia menilai kebijakan hilirisasi nikel dan pembangunan industri baterai kendaraan listrik adalah langkah tepat, sejalan dengan arus transisi global.
“Jika dikelola serius, ekonomi kita bisa bangkit dari stagnasi 5 persen menuju pertumbuhan 6 hingga 7 persen dalam beberapa tahun mendatang,” tegasnya.
Ia mengingatkan, tanpa kebijakan radikal di sektor industri—yang menjadi penyumbang utama PDB nasional—pertumbuhan ekonomi akan terus terjebak di angka rendah.
Selain industri hijau, sektor pangan dan energi juga dinilai menyimpan potensi besar. Pemerintah saat ini tengah serius menggarap ketahanan pangan melalui stabilisasi harga dan peningkatan produksi beras. Namun, Didik menekankan pentingnya kebijakan produktivitas di tingkat petani dan efisiensi tata niaga untuk menjaga keberlanjutan program.
Menjaga jarak dari kutub Barat maupun Timur tetap menjadi keunggulan diplomasi Indonesia.
"Sikap netral ini justru memperkuat posisi strategis Indonesia secara geopolitik," ucapnya. Ia menyebut Indonesia bisa mengambil peran sebagai jembatan dialog antarblok, sebagaimana peran Swiss di Eropa.
Kehadiran Presiden Prabowo dalam KTT BRICS mendatang dinilai sebagai momen strategis.
"Ini membuka pintu bagi pendanaan alternatif, kerja sama teknologi, hingga diversifikasi mitra dagang,” tutup Didik.
Editor : Furqon Munawar