get app
inews
Aa Text
Read Next : PWI Dukung Kejagung Hadapi Serangan Balik Koruptor

Korupsi Pengadaan Chrombook di Kemendikbudristek, IAW: Bentuk Sempurna Disain Mark Up Terencana

Sabtu, 09 Agustus 2025 | 22:24 WIB
header img
Gambar ilustrasi. (Foto : Istimewa)

BOGOR, iNewsBogor.id - Pengadaan jutaan unit Chromebook oleh negara (baca: Kemendikbudristek) mestinya menjadi lompatan digitalisasi pendidikan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, negara hanya membeli perangkat fisik, tanpa pernah memiliki sistemnya.

Skema bisnis ini yang menyeret mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim ke meja penyidikan setelah sebelumnya Kejaksaan Agung menetapkan 4 (empat) orang dari Kemenndikbudristek menjadi tersangka, masing-masing inisial SW, MUL, IBAM dan JT/JS.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus mengatakan, hal ini menjadi masalah hukum, ketika perangkat yang dibeli, tidak bisa digunakan tanpa aktivasi melalui Chrome Device Management (CDM).

"Sistem milik Google, tapi hanya bisa diakses dan dioperasikan oleh satu perusahaan di Indonesia, yakni PT D, sebagai satu-satunya mitra resmi Google Education. Model bisnis tertutup begini, sebabkan perangkat terkunci dan anggaran terhisap," kata Iskandar kepada media di Bogor, Sabtu (9/8/2025).

Menurut Iskandar, dengan sistem semua perangkat harus di-enroll menggunakan Serial Number, yang hanya bisa diaktivasi oleh korporasi D, dan tidak ada opsi aktivasi mandiri oleh sekolah, daerah, bahkan kementerian, ini sama dengan negara dipaksa terus bergantung pada satu entitas privat untuk membuka akses atas alat yang sudah dibeli negara.

Hasil audit IAW, dengan biaya aktivasi CDM Rp500 ribu hingga Rp600 ribu/unit dengan jutaan unit dibeli, maka potensi fee tersembunyi mencapai Rp1 triliun lebih. Ironisnya, biaya ini tidak pernah diumumkan resmi, tidak bisa ditandingkan, tidak diaudit, tapi langsung dimasukkan dalam satuan harga pengadaan.

"Inilah bentuk sempurna dari desain mark-up terencana. Coba harga satuan diurai dengan teliti, maka mudah bagi penyidik untuk memahaminya. Pemenang tender sudah memberi pengakuan lengkap di BAP. Jadi tidak sulit lagi bagi penyidik Kejagung untuk membulktikan," tandasnya.

Iskandar yakin, sistem CDM tidak berdiri tiba-tiba. Sudah dikondisikan dan direkayasa. Berdasarkan penelusuran IAW, perangkat dan skema aktivasi sudah dirancang jauh sebelum Nadiem Makarim dilantik sebagai Menteri.

"Sudah matang dan sudah diniatkan oleh para pelaku. Ini bukti paling telak yang tak bisa dihindari," katanya.

Temuan lain, spesifikasi pengadaan dikunci hanya untuk perangkat dengan CDM, dan hanya perusahaan D saja yang bisa mengktifkan.

"Vendor global seperti Acer, Asus, Lenovo tidak bisa distribusi langsung, karena harus lewat perusahaan D. Ini bukan cuma pelanggaran etika, ini rekayasa sistemik," tegas Iskandar.

IAW menilai, tindakan ini telah melanggar UU Tipikor pasal 15 terkait perencanaan korupsi, pasal 13 tentang janji proyek sebelum jabatan, UU 5/1999 (Anti Monopoli) pasal 22 karena tender diarahkan ke satu vendor, UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan di pasal 12 tentang pejabat tidak boleh untungkan koleganya sebelum menjabat dan UU Keuangan Negara terkait pemborosan anggaran tanpa dasar efisiensi dan kebermanfaatan publik.

Bagi Iskandar, pengadaan itu, bukan cuma Chromebook, tapi juga sistem yang dikunci satu tangan vendor.Untuk proyek pengadaan Chromebook oleh negara, publik kerap mengira ini hanya soal beli laptop untuk sekolah, padahal sesungguhnya, negara sedang membeli sebuah sistem digital yang tidak bisa berjalan tanpa aktivasi melalui vendor tunggal.

Di titik ini, peran D bukan sekadar distributor. Mereka menjadi satu-satunya gatekeeper sistem digital pendidikan nasional, karena hanya mereka yang memiliki akses resmi ke Google Admin Console, dengan perangkat berbasis serial number.

"Tanpa intervensi korporasi D, maka barang senilai triliunan itu tidak bisa menyala di ruang kelas. Lalu, sekarang D mau cuci tangan. Ini modus kejahatan di beberapa negara. Simpul masalahnya, sistem dibeli tapi tidak dipegang," urainya.

IAW menilai, pengadaan Chromebook oleh Kemendikbudristek bukan lagi hanya terkait pengadaan barang, namun pengadaan sistem yang sejak awal dikondisikan untuk dikunci, diatur. Artinya, negara yang membeli perangkat, tetapi perusahaan D yang memegang kuncinya.

"Harus periksa dari hulu ke hilir penegak hukum. Karena sistem ini dirancang sebelum jabatan formal dimulai, dan struktur spesifikasi mengarah hanya pada vendor tertentu, maka model bisnis culas dan jahat," kata Iskandar.

Dengan sistem CDM ini, Iskandar mengatakan, pelaku hendak menggunakan serial number sebagai pintu uang lewat perusahaan D. IAW mendorong aparat hukum, jangan hanya memeriksa kontrak fisik, tapi juga logika bisnis di balik proyek tersebut. Ini bukan sekadar pengadaan, ini adalah model bisnis yang membajak kebijakan negara.

Indonesian Audit Watch menilai, penanganan hukum tidak boleh hanya menyentuh “belanja Chromebook” karena model bisnis di balik CDM-lah akar masalahnya.

Untuk itu, IAW merekomendasikan empat poin yakni,

  1. Audit total oleh BPK dan BPKP terhadap CDM dan fee aktivasi sejak 2019–2024.
  2. KPPU harus telusuri spesifikasi tender yang dikunci untuk vendor tunggal.
  3. KPK dan Kejagung harus fokus pada skema bisnis ini, sebagai bentuk shadow procurement.
  4. Kominfo dan BSSN harus ambil alih sistem konsol Google Admin Console, demi kedaulatan data pendidikan.

 

"Jangan biarkan model bisnis tak bermoral jadi preseden. Masa negara tidak punya kuasa atas perangkat yang sudah dibelinya. Ini kolusi korporat membajak pemerintahan. Bongkar siapa yang susun ini sejak awal. Ini perancangan sistem, untuk merampok anggaran secara legal," pungkas Iskandar.

Editor : Furqon Munawar

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut