get app
inews
Aa Text
Read Next : Cinta yang Berujung Luka: Kisah Seorang Tenaga Medis Sukabumi di Balik Aplikasi Kencan

Main Aplikasi Kencan, Mengaku Janda, dan Jadi Korban Sendiri: Drama Nyata dari Sukabumi

Sabtu, 08 November 2025 | 19:23 WIB
header img
Aplikasi Tinder

Sukabumi, iNewsBogor.id – Di balik wajah lembut dan profesi terhormatnya sebagai tenaga kesehatan, seorang perempuan asal Sukabumi — sebut saja “R” — menyimpan kisah yang tak banyak orang tahu.

Berawal dari rasa sepi, ia terjun ke dunia aplikasi pencarian jodoh. Namun untuk bisa diterima di sana, ia menciptakan identitas baru: seorang janda yang ditinggal meninggal suami.

Dari situlah drama panjang dimulai — penuh kebohongan, emosi, dan permainan peran yang ia ciptakan sendiri.

“Saya hanya ingin didengar. Ingin ada yang perhatian, tanpa menghakimi,” pengakuannya.

R mengunduh Tinder dengan dalih penasaran. Tapi di sana, ia menemukan sesuatu yang berbeda: perhatian, pujian, dan rasa hangat yang lama ia rindukan.

Untuk membuat ceritanya lebih meyakinkan, ia menulis di profilnya: “Widowed. Just trying to find someone who understands me.”

Lalu ia mulai mengobrol dengan beberapa pria — mulai dari pengusaha muda, duda, hingga karyawan kantoran. Semua berjalan alami, hingga akhirnya R mulai bermain peran sebagai sosok yang “terluka tapi kuat”.

“Saya kehilangan suami dua tahun lalu dalam kecelakaan. Hidup saya berat, tapi saya berusaha tegar,” begitu salah satu pesannya kepada lawan bicaranya.

Cerita itu menyentuh banyak hati. Banyak pria merasa iba, menawarkan perhatian, bahkan beberapa mencoba mendekat lebih jauh. Di sinilah permainan peran R berkembang — ia menjadi tokoh utama dalam drama yang ia tulis sendiri.

Menurut psikolog sosial, Diana Pramudita, M.Psi, fenomena seperti ini sering disebut emotional manipulation atau manipulasi emosional.
Pelaku menciptakan narasi dirinya sebagai korban agar mendapatkan simpati dan perhatian dari orang lain.

“Biasanya dilakukan oleh individu yang secara emosional merasa tidak aman atau haus validasi. Mereka menggunakan empati orang lain sebagai cara untuk menambal kekosongan batin,” jelasnya.

R mulai terbiasa memainkan peran “korban kehidupan”. Ketika lawan bicaranya mulai menjaga jarak, ia akan mengirim pesan penuh kesedihan, mengatakan dirinya “terluka lagi” atau “tak sanggup kehilangan seseorang lagi.”

Hasilnya? Lawan bicara merasa bersalah — dan kembali.

Di titik ini, R tidak sekadar mencari teman bicara. Ia menikmati kendali emosional yang ia miliki atas orang lain.

Drama itu berjalan berbulan-bulan. Hingga salah satu pria yang ia kenal — sebut saja Andi, seorang pegawai swasta asal Bogor — mulai curiga.

Ketika mereka bertemu langsung, beberapa hal tak sesuai dengan cerita R.

Tidak ada tanda-tanda bahwa ia seorang janda; tidak ada bekas duka yang biasanya muncul ketika seseorang kehilangan pasangan.

Andi mulai menyelidiki. Dan kebenaran terungkap — R ternyata masih bersuami, bahkan tinggal di rumah yang sama dengan anak dan suaminya.

“Saya kaget, bukan cuma karena dibohongi, tapi karena dia benar-benar meyakinkan. Dia bisa menangis saat cerita, bisa memanipulasi emosi,” kata Andi saat diwawancarai secara anonim.

Kebohongan itu akhirnya bocor di lingkungan sekitar. Reputasi R runtuh, rumah tangganya terguncang, dan pekerjaannya pun terancam.
Ia menyadari, permainan yang awalnya hanya “iseng” telah menjadi petaka nyata.

Kini, R mengaku tengah menjalani terapi psikologis. Ia menyadari bahwa kebutuhannya bukan pada cinta baru, melainkan pada rasa diterima dan diakui keberadaannya dalam rumah tangganya sendiri.

“Saya bukan ingin selingkuh. Saya hanya ingin merasa berarti lagi. Tapi saya salah jalan,” ucapnya.

Psikolog menilai bahwa fenomena seperti ini menjadi cermin rapuhnya hubungan emosional dalam rumah tangga modern. Di tengah tekanan hidup dan jarak komunikasi, banyak pasangan merasa sendirian — meski tidur dalam satu ranjang.

Dan di situlah godaan digital mulai mengambil alih.

Fenomena “main Tinder tapi ngaku janda” bukan sekadar cerita skandal. Ini adalah potret tentang manusia yang haus validasi, tentang perempuan yang merasa tidak didengar, dan tentang bagaimana dunia digital memudahkan siapa pun untuk menciptakan versi baru dari dirinya sendiri.

Namun seperti semua kebohongan, cepat atau lambat kebenaran akan datang. Dan ketika itu terjadi, rasa malu dan penyesalan jauh lebih besar daripada kesepian yang dulu coba dihindari.

“Kebohongan mungkin memberi kehangatan sesaat, tapi kebenaran adalah satu-satunya hal yang bisa menyembuhkan,” tulis R dalam catatan refleksi pribadinya.

Editor : Ifan Jafar Siddik

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut