Perubahan Kebijakan Minyak Goreng, Pakar Nilai Kartel Mustahil

Ifan Jafar Siddik
Minyak goreng curah (Foto: Istimewa)

JAKARTA, iNewsBogor.id – Ekonom Ine Minara Ruky menilai kesepakatan kartel antar produsen tidak mungkin terjadi ketika tahun lalu terjadi kelangkaan minyak goreng menyusul kenaikan harga. Ini karena kartel tidak dapat diterapkan secara efektif ketika pemerintah melakukan perubahan perubahan kebijakan dalam waktu singkat untuk mengatasi masalah minyak goreng.

Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, saat daring di sidang perkara dugaan kartel minyak goreng yang digelar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan pentingnya untuk menganalisis kebijakan pemerintah yang terjadi saat itu, karena perilaku pelaku usaha tidak luput dari lingkungan kebijakan pemerintah.

“Berdasarkan konsepnya, kartel biasanya dilakukan di tengah kondisi pasar yang stabil.  Sementara saat itu pemerintah mengeluarkan banyak kebijakan yang berubah-ubah dalam waktu yang singkat. Melakukan kesepakatan kartel pada saat itu justru tidak rasional. Setiap kebijakan pasti akan mengubah perilaku pelaku usaha dan perhitungan cost yang harus dikeluarkan untuk melakukan kartel,” ujar Ine.

Selanjutnya, motivasi pelaku perdagangan untuk ikut serta dalam kartel adalah untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang. Jika kartel diterapkan dalam jangka pendek, kemungkinannya kecil untuk efektif. Demikian juga keuntungan akan menjadi lebih kecil dan biaya menjadi tidak masuk akal.

“Misalnya, kalau ada kartel harga dalam dua atau tiga bulan, kemudian di tengah-tengah berhenti, karena ada structural break berupa kebijakan harga dari pemerintah.  Namun, beberapa bulan kemudian kebijakan dicabut dan terjadi lagi kartel. Menurut saya itu tidak masuk akal. Pelaku usaha pasti rasional. Apabila ingin melakukan kartel biasanya jangka panjang, tidak sepotong-sepotong begitu,” papar Ine.  

Di luar itu, lanjut Ine, keberhasilan kartel sangat bergantung pada jumlah pihak yang terlibat. Semakin banyak peserta yang terlibat dalam suatu transaksi, semakin tidak efektif kartel tersebut. Dalam perkara ini, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).

Para terlapor didakwa melakukan kesepakatan untuk menetapkan harga minyak goreng kemasan dari Oktober 2021 sampai Desember 2021 dan Maret sampai Mei 2022, serta membatasi harga minyak goreng kemasan dari Januari 2022 sampai Mei 2022 peredaran atau penjualannya.

Ine mengingatkan KPPU untuk berhati-hati dalam memastikan adanya kartel terkait kenaikan harga minyak goreng pada periode tersebut. Munculnya paralelisme harga tidak serta merta membuktikan adanya kartel.

"Hati-hati saat mengartikulasikan paralelisme harga, karena dapat dibentuk oleh saling ketergantungan pemain komersial di pasar oligopoli. Pasar oligopoli sangat saling bergantung. Setiap keputusan yang diambil oleh suatu perusahaan memiliki dampak terhadap perusahaan lain. Untung rugi juga ditentukan oleh strategi input-output perusahaan lain. Jadi, selama tidak dilakukan dengan kesepakatan, wajar saja saling mengikuti dan menyesuaikan harganya,” kata Ine.

Ine juga mengingatkan bahwa pasar oligopoli (pasar dengan sedikit pemain) tidak berarti kolusi atau kartel.

“Oligopoli itu wajar, karena kenyataannya ada entry barrier dan exit barrier, dan informasi pasar tidak sempurna,” ujarnya.

Ine menambahkan, paralelisme harga sering digunakan sebagai bukti tidak langsung untuk mencurigai adanya kesepakatan kartel. Hal ini dikarenakan sulitnya memperoleh bukti langsung (hard evidence) suatu perjanjian, seperti surat perjanjian, dll. Namun, otoritas persaingan komersial tidak dapat berhenti pada paralelisme harga.

Bisa saja keseragaman harga itu terjadi karena persaingan yang sangat ketat, atau ada shock pada biaya input yang dihadapi semua produsen yang mana input tersebut memiliki kontribusi tinggi dalam total cost.

“Pembuktian dengan indirect evidence seperti price parallelism itu hampir semuanya menggunakan analisa ekonomi. Tahap pertama, harus dibuktikan ada atau tidak price parallelism. Tahap kedua, menganalisis faktor-faktor yang memperkuat dugaan adanya kesepakatan dengan menggunakan plus factor sehingga tidak ada penjelasan rasional lain yang menyebabkan price parallelism tersebut.  Jadi, harus melibatkan dua langkah, yaitu menemukan perilaku paralel dan melakukan analisa plus factor,” tandasnya.

Editor : Ifan Jafar Siddik

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network