Strategi Pemerintah Ajak Generasi Muda Cicil Rumah Vertikal di Perkotaan

Alpin Pulungan
Penampakan atas Rumah Susun Kementerian PUPR di Pasar Rumput, Jakarta Selatan. (Foto: Dok. Ditjen Perumahan PUPR).

JAKARTA, iNewsBogor.id - Pilihan hunian berupa rumah tapak masih menjadi prioritas bagi generasi muda di perkotaan, meskipun harga rumah di kawasan ini semakin tidak terjangkau bagi sebagian besar pekerja formal. Kendati ada pengembangan rumah vertikal dan apartemen di lokasi-lokasi strategis, namun opsi tersebut tidak menjadi favorit.

Berdasarkan penelitian lamudi.co.id, rumah tapak tetap menjadi pilihan utama untuk tempat tinggal, persentasenya mencapai 83,7 persen dari total pencarian rumah pada 2021 dan sebesar 92,01 persen pada 2020.

Selain itu, hasil riset perusahaan teknologi real estat, 99 Group, menunjukkan bahwa rumah tapak atau landed house tetap menjadi tipe properti yang paling diminati oleh generasi Z dan milenial hingga paruh pertama 2023. Sebanyak 64,4 persen responden generasi Z tertarik dengan rumah tapak, sedangkan di kalangan milenial mencapai 64,6 persen.

Sementara itu, data BP Tapera menunjukkan Generasi Milenial dan Z dengan rentang usia 19 tahun-30 tahun menjadi kelompok yang paling banyak menyerap bantuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) selama tahun 2023. Persentasenya mencapai 62,13 persen.

Adapun untuk jenis yang paling banyak dicari adalah rumah tapak, dengan persentase 99,96 persen, hanya menyisakan kecil sebesar 0,04 persen untuk peminat rumah vertikal. Melalui data ini, terlihat bahwa generasi muda lebih berminat pada rumah tapak, berstatus subsidi, dan dengan fasilitas pembiayaan FLPP.

Fakta ini tentu berbenturan dengan keadaan kota yang makin padat. Lahan untuk perumahan di perkotaan seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) makin menyempit. Membangun rumah tapak dengan tingkat permintaan yang tinggi menjadi mustahil di area tersebut.

Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna, menjelaskan kecilnya minat generasi muda terhadap rumah vertikal itu disebabkan harga rumah jenis ini dua kali lebih mahal dari rumah tapak, meski berstatus Kredit Perumahan Rakyat (KPR) bersubsidi.

“Ketika rumahnya jadi rumah vertikal harganya jadi Rp400 juta. Naik dua kali lipat. Cicilannya logikanya naik dua kali lipat juga dong? Menjadi sekitar Rp2,5 sampai Rp3 juta….Yang tadinya bisa nyicil jadi  enggak bisa,” kata Herry kepada iNewsBogor di kantornya, Jumat (2/2/2024).

Faktor utama yang menghambat minat generasi muda terhadap rumah vertikal di perkotaan adalah kendala finansial. Untuk mengatasinya, diperlukan penyesuaian strategi dan kebijakan pembiayaan guna meningkatkan daya beli masyarakat terhadap jenis hunian ini.


Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna. (Foto: iNews/Komarudin-Kementerian PUPR).


Pemerintah sebenarnya sudah mengambil langkah terhadap masalah tersebut. Salah satunya dengan mengkaji usulan skema KPR dengan jangka waktu hingga 35 tahun. Memperpanjang masa cicilan tentu akan memperkecil biaya yang harus dikeluarkan per bulannya. Milenial dan Gen Z akan mudah membeli rumah. Dengan begitu, disparitas kebutuhan perumahan di Indonesia akan terus teratasi. 

“Bagaimana membuat produk yang tejangkau? Jadi kita kasih ke milenial, Anda bisa beli nih apartemen, tenornya 35 (tahun), rate-nya sekian, dihitung, oke gaji saya mampu, sebab sepertiga (cicilannya dari penghasilan yang dimiliki). Dengan cara itu berani dia menandatangani kontrak (akad), dan diterima juga oleh banknya,” jelas Herry.

Menurut Herry, skema tujuan ini diadopsi dari program perumahan di Jepang yang dilakukan bersama lembaga swasta. KPR 35 tahun ini bertujuan memperluas kesempatan bagi masyarakat agar dapat memiliki hunian yang nyaman, layak, dan terjangkau.

Langkah ini sedang digodok oleh Kementerian PUPR sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menciptakan KPR yang lebih efisien serta memudahkan masyarakat dalam memiliki rumah pribadi.

“Di Jepang 35 (tahun). Korea bahkan 40 tahun. Denmark itu 60 tahun. Nah, Malaysia, di syariahnya juga 35 (tahun). Dan kita juga lakukan di BP Tapera 35 (tahun). Jadi enggak ada hal yang baru sebetulnya. Niatnya ini adalah bagaimana membuat cicilannya affordable (terjangkau). Dapat dikangkau oleh segmen yang kita inginkan,” kata Herry.

KPR 35 tahun merupakan jenis pinjaman yang diberikan oleh bank atau lembaga keuangan kepada individu untuk memiliki rumah dengan jangka waktu pembayaran yang lebih panjang daripada tenor KPR pada umumnya, yang biasanya berkisar antara 10 hingga 20 tahun.

Rencana penerapan KPR 35 tahun dipandang sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menekan backlog perumahan. Backlog, atau kesenjangan antara jumlah rumah yang sudah terbangun dan kebutuhan rumah masyarakat, menjadi fokus utama.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Sosial Ekonomi (Susenas) 2023, backlog kepemilikan rumah di Indonesia pada tahun yang sama mencapai 9,9 juta unit. Sementara itu, backlog kelayakan hunian masih mencapai 14,84 juta unit pada periode yang sama.

Rencana penerapan skema KPR 35 tahun juga sejalan dengan langkah pemerintah menuju target ambisius untuk mencapai zero backlog pada tahun 2045. Dengan tersisa waktu 21 tahun, dibutuhkan pembangunan sekitar 600.000 rumah per tahun.

Namun, kondisi saat ini hanya mampu memproduksi 200.000-250.000 unit rumah per tahun, tidak jauh berbeda dengan capaian pembangunan di era Orde Baru. Oleh karena itu, penerapan KPR 35 tahun dianggap sebagai kunci utama dalam mencapai visi tersebut.

Merumahkan Milenial-Gen Z

Rencana KPR 35 tahun ditujukan untuk generasi Z dan milenial guna memfasilitasi kepemilikan hunian, mengingat populasi mereka saat ini mencapai 75 juta orang. Generasi Z lahir antara tahun 1997 hingga 2012, sementara milenial lahir pada periode 1981-1996. Data dari BPS menunjukkan bahwa jangka waktu rata-rata KPR di Indonesia adalah 12,95 tahun, dengan biaya angsuran rata-rata sebesar Rp 1,62 juta per bulan untuk rumah tangga.

Pada 2022, terdapat 4.388.601 rumah tangga milenial yang belum memiliki rumah, diikuti oleh generasi X (lahir pada 1965-1980) dengan 4.304.757 rumah tangga yang belum memiliki hunian. Pada tahun yang sama, mayoritas pekerja di Indonesia berusia antara 35-39 tahun, dengan jumlah mencapai 15,96 juta orang, diikuti oleh kelompok usia 40-44 tahun yang berjumlah 15,93 juta orang.

Menurut Herry, perpanjangan masa cicilan rumah hingga 35 tahun menjadi langkah efektif dalam memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk memiliki hunian. Ia menjelaskan program ini secara khusus dirancang untuk merumahkan generasi muda yang menjadi sasaran utama.

Program ini tidak hanya sekadar memberikan akses terhadap rumah, tetapi juga membantu para pembeli untuk mengikat harga rumah pada saat ini. Ketika mereka melakukan akad kredit, harga rumah akan terkunci, sehingga mereka tidak perlu khawatir akan kenaikan harga di masa mendatang.

“Setelah dia akad kredit, berarti dia akan mengikat harga rumah pada saat harga saat ini. Poin buat dia,” ujar Herry.

Selain itu, Herry juga mengingatkan generasi muda soal pentingnya optimisme terhadap peningkatan penghasilan di masa depan. Harapannya adalah, meskipun masa cicilan mencapai 35 tahun, namun pembeli dapat melunasi lebih cepat, misalnya dalam waktu 15 tahun. Dengan begitu, harga rumah bisa lebih terjangkau karena dilunasi lebih awal.

Herry juga menekankan pentingnya kepercayaan diri bagi masyarakat untuk membeli rumah. Menurutnya, program ini tidak hanya sekadar memberikan akses terhadap hunian, tetapi juga memberikan keyakinan kepada pembeli bahwa mereka mampu melunasi kewajiban cicilan tersebut.

“Kita harus optimis rezekinya nanti akan bertambah. Jadi harapannya kita punya (cicilan) 35 (tahun), ya jangan juga dipakai 35 (tahun). Nanti (lunasi) 15 tahun sudah cukup,” ujarnya.

Keinginan generasi muda untuk tetap membeli rumah tapak di kawasan perkotaan yang padat jauh panggang dari api. Ketersediaan lahan yang terbatas menjadi salah satu hambatan utama dalam membangun rumah tapak dengan luas area yang memadai.

Dalam konteks kota Jakarta, misalnya, ketersediaan lahan untuk membangun rumah tapak tidaklah memungkinkan. Seseorang tidak akan mungkin membangun rumah tapak dengan luas area yang besar namun hanya untuk digunakan oleh satu keluarga.

Keterbatasan lahan tersebut yang akhirnya mendorong pemerintah menghadirkan rumah vertikal sebagai solusi alternatif. “Coba bayangkan 60 meter sendiri. Kalau di kota, yang pakai 60 meter sendiri, ya gimana padahal yang butuh banyak. Sehingga memang polihan vertikal itu harus,” kata Herry.

Editor : Furqon Munawar

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network