JAKARTA, iNewsBogor.id - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Yanuar Prihatin, menilai bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memerlukan revisi, khususnya dalam tiga aspek penting.
"UU Pemilu harus direvisi setidaknya tiga hal," ujar Yanuar dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Selasa (23/4/2024).
Pernyataan ini disampaikan Yanuar sebagai tanggapan atas pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2024, Senin (22/4).
MK menyatakan adanya kelemahan dalam UU Pemilu yang menyebabkan kebuntuan dalam penindakan pelanggaran pemilu.
Pertama, Yanuar menekankan perlunya revisi terhadap aturan teknis yang menegaskan ulang jadwal cuti khusus para pejabat saat kampanye politik.
"Durasi waktu atau jumlah harinya harus jelas dan jadwal cuti wajib dilaporkan ke KPU dan Bawaslu secara resmi," tegasnya.
Menurutnya, sorotan MK agar perjalanan dinas pejabat negara diatur ulang supaya tidak berhimpitan dengan jadwal kampanye patut ditindaklanjuti.
"Selama ini mereka sadar atau tidak sadar sering kali menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat untuk kepentingan elektoral," ungkap Yanuar.
Kedua, Yanuar menyoroti pentingnya penetapan sanksi yang jelas dan berat terhadap pelanggaran pemilu.
"Tanpa sanksi yang berat dan jelas, presiden dan para menteri bisa seenaknya memengaruhi pilihan politik rakyat dengan menggunakan fasilitas negara dan memanfaatkan kewenangannya secara terbuka untuk tujuan elektoral," ujarnya.
Ketiga, ia menekankan pentingnya pengaturan ulang terkait pembagian bantuan sosial (bansos), beasiswa, sertifikat tanah, pembagian uang, dan peresmian-peresmian sarana/prasarana yang berdampak pada masyarakat agar tidak tumpang tindih pada masa kampanye.
"Tentu saja masih banyak aspek lainnya yang harus direvisi dalam UU Pemilu, termasuk lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku politik uang dalam pemilu. Fenomena ini harus dicari akar masalahnya agar konstruksi UU Pemilu mampu menjawab soal ini," tuturnya.
Yanuar menekankan bahwa fasilitas negara dan program pemerintah yang instan, seperti bansos, tidak boleh lagi disalahgunakan untuk tujuan politik praktis.
"Pemilu 2024 memberikan pelajaran sangat berharga bahwa pemilu yang tidak jujur dan tidak adil akan melahirkan kecurangan yang terus berulang karena penyalahgunaan wewenang ini," ucapnya.
Sebelumnya, Ketua MK, Suhartoyo, juga telah menyatakan adanya beberapa kelemahan dalam UU Pemilu, peraturan KPU (PKPU), maupun peraturan Bawaslu.
"Hal itu pada akhirnya menimbulkan kebuntuan bagi penyelenggara pemilu, khususnya bagi Bawaslu dalam upaya penindakan terhadap pelanggaran pemilu," kata Suhartoyo saat menyampaikan pembacaan pertimbangan putusan yang diajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskadar.
Suhartoyo menekankan pentingnya penyempurnaan terhadap UU Pemilu, UU Pilkada, maupun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kampanye untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaksanaan pemilu maupun pilkada selanjutnya.
Editor : Furqon Munawar
Artikel Terkait