JAKARTA, iNewsBogor.id – Keputusan pemerintah untuk menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen menuai protes dari kalangan pengusaha ritel. Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang Girindrawardana dan pengusaha ritel Roy Nicholas Mandey, menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan yang direncanakan berlaku pada 2025 tersebut.
Roy menegaskan kenaikan PPN ini akan berdampak negatif pada iklim usaha dan daya beli masyarakat. "Pajak naik otomatis akan ada pengurangan daya beli. Sebab ketika harga naik tapi tidak diikuti dengan pendapatan, otomatis masyarakat akan menahan belanja dan ini berimbas juga ke pendapatan pajak negara," ujarnya dalam perbincangan dengan Danang di Channel YouTube Krapu TV, Senin (13/5/2024).
Ia juga menyebut kebijakan tersebut kurang tepat mengingat kondisi ekonomi global yang sedang lesu dan inflasi dalam negeri yang tinggi. Dengan nilai tukar rupiah yang melemah dan harga pangan yang masih tinggi, kenaikan pajak ini dikhawatirkan akan memperburuk kondisi makro ekonomi.
Roy menekankan bahwa industri ritel memainkan peran penting dalam menjaga kestabilan harga dan laju inflasi. Saat harga bahan pangan di pasar tradisional berfluktuasi, ritel dapat menawarkan harga yang lebih stabil sesuai dengan arahan pemerintah.
"Contohnya gula yang akan naik di akhir bulan ini, harga acuan HET-nya sekitar Rp17.500 nah, kita (ritel) yang menjaga harga acuan ini kan," jelasnya.
Namun, Roy menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan mengabaikan kontribusi pelaku usaha ritel. Alih-alih memberikan keringanan pajak dan relaksasi kepada pengusaha dalam negeri, pemerintah justru membiarkan jasa titipan (jastip) dan barang bekas impor (thrifting) yang tidak dikenakan pajak impor secara semestinya dan mengganggu usaha lokal.
"Misalnya thrifting, baju branded lokal maupun luar yang harga normalnya Rp100-200 ribu di thrifting bisa dibanting harga lebih dari setengahnya," tuturnya.
Roy berpendapat bahwa pelaku usaha thrifting dan jastip seharusnya dikenakan kebijakan yang sama, bukan malah membebani pengusaha nasional dengan pajak dan regulasi yang berat.
"Ini merusak harga pasar dan merugikan merek pakaian dalam negeri," tambahnya, seraya menyoroti bahwa pemerintah dianggap tebang pilih dan tidak tepat sasaran dalam membuat kebijakan.
Selain itu, Roy juga prihatin dengan sikap pemerintah yang tidak melibatkan pelaku usaha dalam proses penentuan kebijakan. "Ketika sudah ada korban, ketika banyak yang bangkrut, pemerintah seperti pemadam kebakaran, terlambat," sindirnya.
Sebagai regulator, pemerintah diharapkan dapat melihat secara objektif dan konsisten, serta mempertimbangkan berbagai pandangan dari kelompok yang berbeda sebelum membuat kebijakan. Kebijakan yang merugikan satu pihak, dikhawatirkan akan membawa dampak buruk pada perekonomian nasional.
Editor : Furqon Munawar