Aksi pun diwarnai pernyataan sikap dan pembacaan sepuluh tuntutan rakyat (sepultura), yaitu :
- Segera bebaskan seluruh demonstran yang ditahan di berbagai wilayah Indonesia.
- Presiden dan Kapolri bertanggung jawab penuh atas kekerasan aparat.
- Hentikan sikap represif dan brutal dalam penanganan demonstrasi.
- Copot Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang gagal mereformasi institusi Polri.
- Bentuk tim independen untuk menyelidiki kekerasan terhadap massa aksi 28 Agustus 2025 dan pelanggaran HAM lainnya.
- Tindak tegas anggota DPR-RI yang memicu kemarahan publik dan mencederai etikademokrasi.
- Penuhi tuntutan demonstran, mulai dari pembatalan R-KUHAP, perlindungan lingkungan dan masyarakat adat, hingga kebijakan ekonomi yang adil dan transparan.
- TNI harus menahan diri dan tidak mencampuri urusan sipil yang memperburuk kondisidemokrasi.
- Komnas HAM harus aktif menyelidiki pelanggaran HAM serius dan mengawasipembatasan kebebasan berekspresi selama aksi.
- Bubarkan Kementerian HAM yang gagal menjalankan mandat perlindungan hak asasimanusia.
Aksi Kamisan merilis, sepanjang satu tahun terakhir (Juli 2024–Juni 2025), tercatat 55 warga tewas akibat kekerasan aparat. 10 karena penyiksaan, 37 akibat pembunuhan di luar hukum, dan 8 karena salah tangkap. Nama-nama korban seperti Gamma di Semarang dan Afif Maulana di Padang menjadi pengingat bahwa kekerasan oleh negara bukanlah masa lalu, tapi masih berlangsung hari ini.
“Negara tak boleh terus bersembunyi di balik seragam dan senjata. Ini bukan lagi insiden ini kejahatan negara,” ujar peserta lainnya yang ikut membacakan nama-nama korban.
Aksi ini ditutup dengan mengheningkan cipta dan pembacaan kutipan perjuangan. Pesan yang tersisa jelas: rakyat akan terus berdiri, bahkan dalam diam.
Editor : Furqon Munawar
Artikel Terkait
