JAKARTA, iNewsBogor.id - Peternak sapi bernama Asa Romadiansyah menghadapi kesulitan dalam menjual sapi saat Idul Adha tiba. Penjualan sapi-sapi yang ia jual pada tahun ini tidak sebaik musim kurban sebelumnya.
"Peternak sapi di Jawa Timur ini mengatakan pembeli agak loyo, enggak kayak dulu," kata Roma, dua hari lalu.
Roma menjelaskan, biasanya hampir semua sapi di kandangnya sudah banyak diminati sebulan hingga seminggu sebelum Idul Adha. Namun, tahun ini, minat pembeli mengalami penurunan. Hingga menjelang hari raya, penjualan sapi hanya mencapai sekitar 75 persen dari biasanya.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Nanang Purus Subendro, mengakui bahwa penurunan penjualan ini terjadi di beberapa daerah selain Jawa Timur.
Para peternak dari Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Bali, yang memiliki lapak di daerah Jabodetabek serta Jawa Barat, mengeluhkan penurunan minat pembeli sekitar 30 persen.
"Penurunan secara nasional tidak merata, tapi 10-30 persen lebih rendah daripada tahun lalu," ujarnya.
Menurut Nanang, hampir semua jenis sapi mengalami penurunan penjualan, termasuk sapi dengan harga Rp 18-21 juta yang biasanya sangat diminati dan tidak terjual habis tahun ini. Minat terhadap sapi-sapi jumbo dengan berat di atas 750 kilogram juga tidak sebanyak tahun sebelumnya.
Menurut Nanang, penurunan penjualan ini memberikan penderitaan yang lebih panjang bagi para peternak. Tahun lalu, wabah penyakit mulut dan kaki (PMK) melanda dan menyebabkan sekitar 25 persen peternak mengalami kerugian karena kandang mereka terinfeksi virus.
Peternak yang sapi-sapinya tidak terkena wabah juga terkena dampaknya karena kehilangan pasar dan harga sapi yang turun. Selain itu, penyakit cacar atau Jumpy Skin Diseases masih menyebar.
Nanang menyebutkan bahwa peternak juga menghadapi biaya pakan yang tinggi. "Biaya pakan berkontribusi 75 persen dari biaya operasional," kata dia.
Kenaikan harga pakan disebabkan oleh keterbatasan impor biji gandum setelah terjadi konflik antara Rusia dan Ukraina. Sumber protein lain seperti bungkil kedelai juga mengalami kenaikan harga.
Agar Tetap Untung
Untuk mengatasi masalah ini, Sekretaris Jenderal PPSKI, Robi Agustiar, mengatakan bahwa sapi-sapi yang belum terjual bisa dirawat kembali untuk dijual pada Idul Adha tahun depan.
Namun, dia memperkirakan peternak akan semakin kesulitan menjualnya karena ukuran sapi yang semakin besar. Saat ini, banyak sapi berukuran 250-300 kilogram yang belum diminati.
Jika dirawat, berat sapi akan mencapai 600-700 kilogram pada tahun depan. Pasar sapi-sapi jumbo juga memiliki batas yang terbatas.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah menjual sapi untuk daging potong. Meskipun harganya berbeda, Robi menilai peternak masih bisa mendapatkan keuntungan.
Harga sapi untuk kurban saat ini mencapai Rp 75-78 ribu per kilogram, sedangkan sapi potong biasa hanya bernilai sekitar Rp 50 ribu per kilogram.
Robi mengatakan bahwa asosiasi sedang menjajaki kerja sama dengan sejumlah pengusaha sapi potong di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan sekitarnya untuk membantu para peternak.
"Berharap agar bisa masuk ke BUMD atau pemerintah untuk diserap sebagai sapi potong," katanya.
Penurunan penjualan yang dialami oleh peternak juga sejalan dengan penelitian dari Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas).
Lembaga tersebut memproyeksikan penurunan jumlah orang yang berkurban sekitar 90 ribu orang pada tahun ini dibandingkan dengan tahun 2022.
Akibatnya, potensi ekonomi kurban pada tahun ini hanya mencapai Rp 24,5 triliun, yang berasal dari 2,08 juta orang yang berkurban. Angka ini lebih rendah daripada tahun 2022 yang mencapai Rp 24,3 triliun dari 2,17 juta orang yang berkurban.
Pukulan Resesi Global
Direktur Ideas, Yusuf Wibisono, menjelaskan bahwa dari 2,08 juta keluarga muslim berdaya beli tinggi yang berpotensi berkurban tahun ini, kebutuhan akan kambing dan domba menjadi yang paling tinggi dengan total 1,23 juta ekor. Sedangkan sapi dan kerbau hanya sekitar 505 ribu ekor.
Yusuf menjelaskan bahwa estimasi penurunan jumlah orang yang berkurban didasarkan pada dampak resesi global yang menghambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
"Melemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga pangan dan energi menyebabkan kami mengambil estimasi kurban yang konservatif," kata Yusuf.
Dengan adanya resesi global yang semakin terasa, Yusuf mengatakan bahwa kelompok miskin akan menjadi yang paling terdampak. Kehadiran kurban, menurutnya, sangat penting bagi mereka.
Terlebih lagi, saat ini kesenjangan dalam konsumsi makanan sangat tinggi. Dia berharap pembagian kurban dapat tepat sasaran dan mencapai masyarakat miskin.
Yusuf mencatat bahwa hingga 2022, rata-rata penduduk dalam 1 persen kelompok terkaya mengkonsumsi 5,31 kilogram daging kambing dan sapi per kapita per tahun.
Jumlah ini 294 kali lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat dalam kategori 1 persen kelompok termiskin, yang hanya mengkonsumsi 0,02 kilogram daging per tahun per kapita.
Editor : Ifan Jafar Siddik