Lonjakan Angka Stres dan Bunuh Diri
Lonjakan angka bunuh diri dan kasus gangguan mental lainnya menjadi bayang-bayang kelam di tengah masyarakat kita. Coach Rheo mengingatkan kita akan bahaya yang mengintai, dengan data yang menunjukkan peningkatan drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Dari kasus mahasiswa yang mengakhiri hidupnya, hingga kekerasan dalam rumah tangga yang semakin sering terjadi, semua ini adalah tanda bahwa kesehatan mental kita sedang dalam kondisi darurat.
Data yang dihimpun dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa 720 ribu jiwa meninggal karena bunuh diri setiap tahun. Bunuh diri menjadi salah satu penyebab kematian paling tinggi di dunia dan ditemui pada remaja hingga dewasa dengan rentang usia dari 15 sampai 29 tahun.
Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri) menunjukkan kasus bunuh diri di Indonesia terjadi sepanjang tahun. Angkanya terus meningkat setiap tahun, bahkan bertambah hingga 60% dalam lima tahun terakhir.
Data menunjukkan, 1 Oktober 2024, Raphael David seorang mahasiswa Universitas Kristen Petra di Surabaya, tewas melompat dari lantai 12 kampusnya. Pada tanggal 18 September 2024, mahasiswi semester lima Universitas Ciputra, melompat dari lantai 22 gedung kampus tersebut.
“Pada 9 November 2024, empat orang satu keluarga di Penjaringan Jakarta melompat dari lantai 22 Apartemen Teluk Intan. Jika diteruskan seluruh daftar menyedihkan ini seperti tidak ada habisnya,” ungkap Coach Rheo prihatin.
Belum lagi fenomena KDRT, suami pukul istri, Koboy jalanan yang bekelahi main hakim sendiri. Termasuk viral kasus pengusaha yang memaksa anak SMA untuk sujud dan menggongong, cyberbullying di internet. Lalu ujaran kebencian dan permasalahan lain yang menciptakan fenomena "senggol bacok" dan gen "sakit mental" seolah menjadi hal biasa di berbagai belahan wilayah di Indonesia.
Editor : Vitrianda Hilba Siregar