KPAI dan LPSK Tegaskan Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren Parung Bogor Tak Boleh Dimediasi

BOGOR, iNewsBogor.id - Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bogor, Waspada MK, menegaskan bahwa mediasi tidak dapat diterapkan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, terutama yang melibatkan orang dewasa sebagai pelaku. Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi bertajuk Menyoal Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Pesantren, Jumat (28/2/2025).
“Terkini, ada kasus kekerasan seksual di Kecamatan Parung. Pelakunya adalah oknum ustadz, dan kasusnya dilakukan mediasi. Saya menyampaikan bahwa pelakunya orang dewasa dan korbannya anak-anak, tidak ada mediasi,” ujar Waspada MK.
Ia menambahkan bahwa Kementerian Agama telah mengambil langkah dengan menelusuri pesantren terkait dan mencabut izinnya. “Jika memang terbukti, harus ditindak secara hukum. Ketika ada bukti kekerasan seksual pada anak, tidak ada mediasi,” lanjutnya.
Menanggapi klaim kriminalisasi terhadap ulama dalam kasus semacam ini, Waspada MK menegaskan bahwa istilah tersebut sering disalahgunakan untuk melindungi pelaku.
“Tidak ada istilah kriminalisasi ulama, karena biasanya ada kasus di mana pelaku merupakan tokoh agama kemudian menempel ke organisasi keislaman. Maka biasanya mereka akan berlindung di balik kata ‘kriminalisasi ulama',” katanya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa siapa pun pelaku kekerasan seksual, baik oknum kyai, ustaz, maupun tokoh agama, harus tetap dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, praktik mediasi masih sering terjadi di tingkat masyarakat.
“Ketika ada mediasi, biasanya dilakukan oleh pihak desa karena takut mencoreng nama desanya atau institusi pendidikan. Biasanya ada ancaman, rayuan, atau bahkan teror terhadap korban sehingga korban menyerah dan mengikuti mediasi tersebut,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kasus yang baru viral dalam sepekan terakhir. “Katanya pelaku sudah dipecat, korban sudah dipulangkan. Ini kan agak menyulitkan kita,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Sri Nurherwati, mengungkapkan bahwa permohonan perlindungan bagi korban kekerasan seksual meningkat setiap tahun.
“Berdasarkan tindak pidana tertentu yang menjadi kewenangan LPSK, permohonan tindak pidana kekerasan seksual naik setiap tahunnya. Permohonan TPKS pada 2024 menempati urutan kedua terbanyak setelah TPPU,” jelasnya.
Pada tahun 2022, permohonan perlindungan terkait Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mencapai 672 kasus. Sementara itu, pada 2024, jumlahnya meningkat menjadi 1.063 permohonan.
LPSK memberikan berbagai bentuk perlindungan kepada korban, termasuk perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural, informasi, fasilitasi ganti rugi, layanan bantuan, hak atas pembiayaan, dan perlindungan hukum.
Namun, Sri Nurherwati juga mengungkapkan berbagai tantangan dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Salah satunya adalah penyelesaian kasus di luar jalur hukum melalui mediasi atau hukum adat.
“Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, aparat penegak hukum (APH) ada yang belum memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU TPKS,” katanya.
Dalam proses penuntutan, jaksa juga sering kali belum melakukan upaya paksa kepada pelaku untuk membayar restitusi kepada korban. “Masih ada putusan pengadilan yang tidak menegaskan adanya pidana penjara pengganti dan restitusi, sehingga pelaku mengabaikan kewajiban membayar restitusi,” tambahnya.
Hambatan lain dalam penanganan korban adalah kurangnya pelayanan terpadu dan banyaknya kasus yang masih tertahan dalam tahap penyelidikan dan penyidikan. “Jumlah kasus yang proses hukumnya dihentikan juga tinggi,” ungkapnya.
Dengan meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual dan berbagai tantangan dalam penegakan hukumnya, diperlukan komitmen bersama dari berbagai pihak untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
Editor : Furqon Munawar