Mangkir Tiga Kali dari Sidang TPPU Rp135,8 M, Komisaris PT LAM Didesak Hadir
JAKARTA, iNewsBogor.id – Persidangan kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Antam di Blok Mandiodo, Kabupaten Konawe Utara, terus menyita perhatian publik. Salah satu figur yang menjadi sorotan adalah Komisaris PT Lawu Agung Mining (LAM), Tan Lie Pin, yang hingga kini belum hadir di persidangan sebagai saksi.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 14 Mei 2025, dengan terdakwa Windu Aji Sutanto, Tan Lie Pin kembali tidak memenuhi panggilan jaksa penuntut umum (JPU) untuk memberikan kesaksian. Ketidakhadiran ini merupakan yang ketiga kalinya, meski sebelumnya majelis hakim telah memerintahkan JPU menghadirkan Tan secara paksa dalam persidangan sebelumnya pada 28 April 2025.
Fakta persidangan mengungkap adanya dugaan keterlibatan Tan Lie Pin dalam aliran dana ilegal dari penjualan nikel, yang ditaksir merugikan negara sebesar Rp135,8 miliar. Ia disebut memerintahkan dua office boy PT LAM untuk membuka rekening bank guna menampung dan menyamarkan hasil penjualan nikel tersebut. Meski demikian, hingga kini ia belum dijerat secara hukum, berbeda dengan delapan pihak lain yang telah ditetapkan sebagai terdakwa maupun terpidana.
Ketidakhadiran Tan Lie Pin sebagai saksi kembali memunculkan pertanyaan dari berbagai pihak mengenai komitmen penegak hukum dalam menuntaskan kasus ini secara menyeluruh dan adil. Sejumlah pengamat hukum dan aktivis antikorupsi mendesak agar aparat penegak hukum bertindak tegas, mengingat peran saksi sangat vital dalam proses pembuktian perkara pidana.
Dalam hukum acara pidana Indonesia, definisi saksi tidak terbatas pada mereka yang melihat atau mengalami langsung suatu tindak pidana. Berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010, saksi mencakup setiap orang yang memiliki pengetahuan langsung terkait tindak pidana yang sedang diperiksa. Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti penting yang diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP.
Penolakan untuk hadir sebagai saksi dalam persidangan pun memiliki konsekuensi hukum. Baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini berlaku maupun dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan berlaku efektif pada 2026, penolakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
Sidang lanjutan perkara ini dijadwalkan akan kembali digelar pada 21 Mei 2025 dengan agenda pemeriksaan saksi. Publik kini menantikan apakah Tan Lie Pin akan hadir memberikan keterangan, atau kembali mangkir tanpa alasan yang sah. Jika ketidakhadiran ini terus berulang tanpa tindakan tegas dari penegak hukum, maka integritas proses peradilan dan kepercayaan publik terhadap institusi hukum bisa tergerus.
Pihak kejaksaan dan kepolisian belum memberikan pernyataan resmi terkait langkah konkret untuk menghadirkan Tan Lie Pin dalam sidang selanjutnya. Sementara itu, harapan publik tetap bergantung pada keberanian dan konsistensi aparat dalam menegakkan hukum secara adil dan tanpa pandang bulu.
Editor : Furqon Munawar