Mengupak Api yang Hampir Padam: Peran Industri Batubara dalam Menopang Ketahanan Energi Nasional

Patris Arifin
Agus Effendi, ST, MS

JAKARTA, iNewsBogor.id - Indonesia tercatat sebagai salah satu raksasa batubara terbesar di dunia. Bersama Tiongkok dan Australia, Indonesia juga digadang sebagai negara dengan cadangan batu bara terbesar di kawasan Asia-Pasifik. Temuan itu bisa kita dedah dari data BP Statistical Review of World Energy tahun 2020, Indonesia menempati peringkat keenam sebagai negara yang memiliki cadangan batubara terbesar di dunia.

Sedangkan dalam Road Map Pengembangan dan Pemanfaatan Batubara 2021-2045 yang disusun oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total cadangan terbukti batubara Indonesia terhadap dunia adalah 3,7%. Dari aspek produksi, pada tahun 2019 Indonesia menyumbang 9,0% produksi batubara dunia dengan konsumsi batubara hanya 2,2% terhadap konsumsi batubara dunia

Hal itu menunjukkan bahwa pemanfaatan batubara secara nasional untuk keperluan energi, memberikan peluang yang sangat besar untuk pemanfaatannya di masa depan. Karena konsumsi batubara dalam negeri dinilai masih jauh lebih rendah dibandingkan kapasitas produksi batubara Indonesia.

Kendati demikian, produksi batubara Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu jika mengacu dari Road Map Pengembangan dan Pemanfaatan Batubara. Khusus pada tahun 2019, produksi batubara Indonesia mengalami kenaikan produksi terbesar dalam satu dekade terakhir. Bila dibandingkan dengan produksi batubara dunia, pada tahun 2019 Indonesia menempati peringkat keempat sebagai penghasil batubara terbesar di bawah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat.

Kontribusi produksi batubara Indonesia terhadap dunia juga terus naik, seiring dengan naiknya produksi batubara Indonesia dengan rata-rata pertumbuhan produksi 8,8% per tahun.

Kenaikan produksi batubara nasional juga diikuti dengan kenaikan ekspor dan pemenuhan Domestic Market Obligation (DMO). Sementara itu, meskipun jumlahnya relatif kecil, impor batubara Indonesia selama lima tahun terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2020, total impor batubara Indonesia mencapai 8,76 juta ton. Tren terus naiknya impor batubara tidak terlepas dari peningkatan kebutuhan batubara untuk industri metalurgi dalam negeri seperti industri besi baja dan fasilitas smelter.

Pemanfaatan batubara domestik hari ini, kita tahu utamanya digunakan untuk sektor kelistrikan sebanyak 85%, terutama dalam pemenuhan kebutuhan bahan bakar PLTU. Sisanya, digunakan untuk berbagai industri seperti industri kertas, metalurgi, semen, pupuk, tekstil, dan lain-lain.

Sementara itu, Dewan Energi Nasional (DEN) dalam Outlook Energi Indonesia 2019, memproyeksikan permintaan listrik pada 2050 akan mengalami kenaikan sebesar 9 kali lipat dari tahun 2018 atau mencapai 2.562 TWh dengan asumsi bahwa kerugian dalam transmisi dan distribusi sekitar 10%. DEN juga memperkirakan produksi listrik pembangkit berbahan bakar batubara masih akan tetap mendominasi pada masa mendatang.

Kebutuhan batubara untuk kelistrikan hingga 10 tahun ke depan sebagai sumber energi primer saat ini, tak ayal mendapatkan tekanan seiring dengan bertambahnya tuntutan penurunan emisi karbon secara global. Di

lain sisi, Indonesia masih menggunakan batubara sebagai sumber energi yang mencapai porsi 58% pada bauran energi nasional.

Hal tersebut dilatarbelakangi oleh jumlah sumberdaya dan cadangan Batubara yang masih melimpah. Selain itu, batubara dianggap sebagai opsi sumber energi yang relatif murah dibanding sumber energi lainnya, khususnya renewable energy.

Oleh karena itu, batubara masih menjadi sumber energi andalan dan penyangga untuk Indonesia sampai dengan renewable energy dapat mencapai porsi yang diharapkan sesuai target bauran energi nasional.

Jika mengacu kembali pada Road Map Pengembangan dan Pemanfaatan Batubara 2021-2045 dari Kementerian ESDM, proyeksi jumlah maksimum kebutuhan batubara untuk pembangkit energi kelistrikan umum, diperkirakan sebesar 131 juta ton dengan jumlah daya yang dihasilkan adalah sebesar 40,97 GW dari total jumlah pembangkit sebanyak 138 PLTU, yang dicapai pada mulai tahun 2026.

Sebagian dari kita tahu bahwa sebaran PLTU dengan daya terbesar berada di regional Jawa-Madura-Bali, yakni sebesar 22.444 MW dan akan bertambah menjadi 31.903 MW pada tahun 2029. Adapun untuk regional lain yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku-Papua-Nusa Tenggara, total daya PLTU batubara hanya berada pada porsi 46% dari total daya untuk regional Jawa-Madura-Bali.

Secara kesuluruhan, kebutuhan batubara untuk PLTU dalam negeri cukup besar dan layak untuk dipertahankan sebagai penyangga hingga bauran untuk sumber energi dari renewable energy mencapai target yang telah ditetapkan.

Dengan besarnya sumber daya dan cadangan batubara Indonesia, kontribusi batubara nasional sebagai sumber energi serta komoditas pertambangan untuk ketahanan energi nasional, diharapkan mampu terus berlanjut secara optimum sampai dengan akhir masa cadangan.

Sebagai informasi, harga batubara terus melesat dari waktu ke waktu. Meski harga di pasar global menjulang tinggi, perusahaan batubara tetap mematuhi kewajiban pasok untuk kebutuhan dalam negeri atau DMO sebesar 25% dari rencana produksi, dengan harga yang ditetapkan pemerintah sebesar US$70 per metrik ton.

Meski jauh di bawah harga ekspor saat ini, Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menyatakan bahwa tingkat kepatuhan per­usahaan batu bara terhadap DMO sejauh ini mendekati 100%. Pernyataan itu tentu menjadi sinyalemen baik bagi pelaku industri batubara Indonesia.

Bahkan Ridwan Djamaluddin menyebut bahwa sampai akhir Agustus 2022, realisasi penerimaan negara dari batu bara sudah mencapai Rp91,47 triliun atau lebih dari dua kali lipat target tahun ini sebesar Rp42,36 triliun.

Pada forum Presidensi G20 di Indonesia lalu, pemerintah Indonesia memperkenalkan kepada dunia skenario Grand Strategy Energi Nasional (GSEN) dengan tujuan menjamin ketersediaan energi yang cukup, kualitas yang baik, harga terjangkau dan ramah lingkungan dalam kurun waktu 2020-2040. Di samping itu, Indonesia juga turut berpartisipasi aktif dalam agenda Net Zero Emission (NZE) sebagaimana yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Dalam program pengembangan dan pemanfaatan batubara, pertimbangan mengenai komitmen Indonesia dalam pencapaian Net Zero Emission menjadi salah satu aspek yang melandasi prioritas program pengembangan dan pemanfaatan batubara pada kurun 2021-2025.

Di salah satu pernyataan Ridwan Djamaluddin pada rubrik Zona Bisnis Metro TV, ia juga menyebut bahwa karena kontribusi batu bara bagi perekonomian nasional secara keseluruhan cukup signifikan, pemerintah Indonesia berharap tidak serta-merta menghentikan penggunaan batubara sebagai salah satu penopang ketahanan energi nasional.

Pada tahun 2050 nanti—mengacu kembali pada kajian Outlook Energi Indonesia dari dari DEN—ekspor batubara akan menjadi 44 MTOE (BaU), 55,8 MTOE (PB), 67,6 MTOE (RK) atau turun dari 170,3 MTOE pada tahun 2018. Proyeksi perbandingan ekspor terhadap produksi batubara juga mengalami penurunan dari 64% pada tahun 2018 menjadi 18% (BaU), 23% (PB), 28% (RK) pada tahun 2050.

Melonjaknya penyediaan EBT pada skenario RK di tahun 2050 dipengaruhi oleh program pencampuran biodiesel yang sudah mencapai 100% dan bioetanol 85%.

Secara keseluruhan, peningkatan permintaan listrik dan jumlah penduduk berdampak pada peningkatan listrik per kapita. Permintaan listrik per kapita pada tahun 2025 akan mencapai 2.030 kWh/kapita (BaU), 1.892 kWh/kapita (PB) dan 1.834 kWh/kapita (RK).

Sedangkan permintaan listrik per kapita pada tahun 2050 akan mencapai 6.723 kWh/kapita (BaU), 5.824 kWh/kapita (PB) dan 4.935 kWh/kapita (RK). Kondisi ini masih berada di bawah target listrik per kapita yang terdapat dalam KEN yaitu 2.500 kWh/kapita pada tahun 2025 dan 7.500 kWh/kapita pada tahun 2050.

Kajian DEN itu juga memprediksikan bahwa produksi listrik pembangkit berbahan bakar batubara masih tetap mendominasi pada masa mendatang. Pangsa produksi listrik dari pembangkit EBT terhadap produksi listrik, juga akan meningkat dari 12,4% pada tahun 2018 menjadi 27% (BaU), 28% (PB) dan 63% (RK) pada tahun 2050 nanti.

Komoditas batubara tak ayal menjadi bagian tidak terpisahkan dalam upaya transisi energi selama beberapa dekade mendatang. Sumber energi ini akan terus digunakan seiring dengan langkah dunia mengembangkan pembangkit energi baru terbarukan.

Selama masa transisi, penggunaan energi fosil tetap dilakukan sebagai penopang (backbone) dari pembangkit listrik. Pasalnya, energi baru dan terbarukan (EBT) masih dikembangkan hingga mencapai kapasitas terpasang sesuai yang ditargetkan.

Bisman Bakhtiar selaku Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHEP), mengatakan bahwa energi fosil merupakan sumber penting selama proses transisi energi. Tiga energi fosil yang dimaksud adalah batubara, minyak dan gas bumi.

Dalam 10 tahun ini, ketergantungan ke terhadap batubara akan masih sangat tinggi, sehingga komoditas batubara bakal menjadi penopang bagi ketahanan energi nasional.

Sebagai badan energi internasional antar pemerintah otonom yang berbasis di Paris, yang memberikan rekomendasi kebijakan, analisis, dan data mengenai seluruh sektor energi global, International Energy Agency menyebut bahwa untuk tahun kedua berturut-turut, pembangkit listrik tenaga batu bara secara global mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada tahun 2022. Hal itu mendorong emisi CO2 dari pembangkit listrik tenaga batu bara ke tingkat tertinggi dan menyumbang lebih dari sepertiga total pembangkitan listrik.

Tingginya harga gas alam akibat invasi Rusia ke Ukraina, ditambah dengan kejadian cuaca ekstrem, menyebabkan banyak wilayah beralih ke batubara untuk mengamankan pasokan listrik.

Meskipun peningkatan yang baru-baru ini terjadi pada pembangkit listrik tenaga batubara kemungkinan hanya merupakan gangguan sementara di beberapa wilayah, tren keseluruhannya tidak sejalan dengan skenario Net Zero Emissions pada tahun 2050.

Artinya, dalam beberapa tahun atau berdekade ke depan, batubara masih akan jadi sumber utama penopang bagi suplai energi nasional. Dalam perjalanan inilah, setiap pelaku di industri batubara Indonesia masih punya pekerjaan rumah demi mewujudkan ketahanan energi nasional, di mana salah satunya lewat batubara.

Oleh: Agus Effendi, ST, MS (Direktur salah satu perusahaan tambang swasta di Indonesia)

Editor : Lusius Genik NVL

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network