Apalagi, lanjut Almas, DPR tidak punya mekanisme untuk melakukan seleksi dan memvalidasi calon penerima beasiswa PIP. Sehingga, besar sekali potensi kerentanan calon penerima adalah orang-orang yang tidak berhak menerima beasiswa PIP.
"Anggota DPR tidak punya tools untuk menyeleksi. Dia tidak punya tools untuk memverifikasi apakah memang nama-nama yang masuk ke list adalah orang yang berhak. Orang Kementerian saja yang meyalurkan itu bisa tidak tepat sasaran, apalagi kemudian anggota DPR tidak punya perangkat, tidak punya tools, tidak punya mekanisme untuk melakukan seleksi dan memverifikasi,” ucapnya.
Peneliti senior ICW itu mengusulkan agar pemerintah mengevaluasi dan membenahi program beasiswa PIP. Terutama yang terkait dengan potensi keterlibatan Anggota DPR dalam program PIP Aspirasi.
“Dari publikasi peta jalan pendidikan 2025-2045, salah satu action plan yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah melihat kembali, mereview dan merevisi bagaimana skema pemberian bantuan itu. Apakah pemberian PIP itu efektif untuk untuk menurunkan angka putus sekolah atau enggak. Satu itu soal efektifitas, yang kedua soal mekanisme pemberian dan distribusinya begitu,” tegas dia.
Kasus penyelewengan dan politisasi beasiswa PIP di Polewali Mandar kini jadi perhatian publik, setelah sebelumnya dilaporkan Gerakan Mahasiswa Indonesia (GMI) dan LBH Pendidikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Editor : Furqon Munawar
Artikel Terkait