Pengamat Pertanian Toni Saritua Purba, memandang persoalan mendasar yang mengakibatkan tata kelola pangan di Indonesia pasca reformasi selalu bermasalah karena kebijakan yang tidak tegas. Regulasi yang tidak berpihak. Menurutnya, pemerintahan sekarang belajar pada era Orde Baru dimana tata niaga dan tata kelola pangan terkonsolidasi dengan baik karena intervensi pemerintah begitu kuat. Lewat regulasi semua pihak yang berkecimpung di dalamnya terakomodasi dengan baik dari hulu hingga hilir.
Senada dengan Toni, Staf Ahli Menteri Investasi Anggawirya menitikberatkan perlunya kolaborasi. Regulasi sebaik apapun akan menjadi masalah di tingkat eksekusi kalau semua pihak tidak memiliki semangat kolaborasi. Budaya saling tuding menyalahkan antar satu pihak dan pihak lain sudah harus ditinggalkan jauh-jauh. Terlebih jika bicara soal pangan dan energi yang merupakan komoditi strategis.
Sementara, Sosiolog IPB Sofyan Syaf mengingatkan semua pihak untuk kembali mendesain ulang pedesaan sebagai pusat pemberdayaan dan pertumbuhan. Indonesia merupakan negeri agraris berbasis pedesaan. Desain ulang pedesaan menjadi kata kunci jika kita ingin memastikan pangan dan energi di kemudian hari bisa terkelola dan terkonsolidasi bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Banyak contoh negara-negara maju sejahtera karena memuliakan pedesaan.
Direktur LSPSDM Deni Yusup berpendapat sama, soal kolaborasi. Tata kelola pangan dan energi berbasis kolaborasi adalah keniscayaan jika ingin Indonesia tidak selalu terperangkap masalah. Selain itu disisi pemerintah perlu dibuat regulasi yang ketat soal tata kelola pangan dan energi. Regulasi diperkuat dengan kolaborasi bisa menjadi jaminan ke depan masalah pangan dan energi di Indonesia akan terpecahkan dan lebih lanjut terkonsolidasi dengan baik.
Editor : Hilman Hilmansyah