Cianjur dan 3 Filosofi Kehidupan yang Melekat Ngaos, Mamaos dan Maenpo

Adi Haryanto
Pendopo Kabupaten Cianjur tahun 1920-an (foto: Humas Pemkab Cianjur)

Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari berubah menjadi ibu nagari tempat pemukiman rakyat Djajasasana. Tempat itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya daerah bernama Cianjur (Tjiandjoer). Raden Aria (R.A) Wira Tanu I kemuduian didapuk menjadi Dalem/Bupati Cianjur pertama dari tahun 1677 hingga 1691. Kemudian dilanjutkan oleh R.A. Wira Tanu II (1691-1707) dan R.A. Wira Tanu III (1707-1727). 

Kekuasaan dilanjutkan generasi R.A. Wira Tanu Datar IV, V, VI, dari tahun 1727-1813. Hingga kini sudah tercatat 37 Dalem/Bupati yang memimpin Cianjur. 

Cianjur juga dikenal dengan filosopi tentang tiga aspek keparipurnaan hidup, yakni Ngaos, Mamaos, dan Maenpo. Ngaos adalah tradisi mengaji yang mewarnai suasana dan nuansa Cianjur sehingga mendapat julukan kota santri. Pasalnya sejak lahir sekitar tahun 1677, Cianjur dibangun oleh ulama dan santri yang gencar mengembangkan syiar Islam. 

Mamaos memiliki arti seni budaya yang menggambarkan kehalusan budi dan rasa menjadi perekat persaudaraan dan kekeluargaan dalam tata pergaulan hidup. Seni mamaos tembang sunda Tembang Cianjuran lahir dari hasil cipta, rasa dan karsa Bupati Cianjur R. Aria Adipati Kusumahningrat yang dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti periode 1834-1862. Seni mamaos ini terdiri dari alat kecapi indung (kecapi besar) dan kecapi rincik (kecapi kecil) serta sebuah suling yang mengiringi panembanan atau juru. 

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network