JAKARTA, iNewsBogor.id - Proses reformasi yang berlangsung pada tahun 1998 memicu perubahan di berbagai sektor, termasuk dalam amandemen Konstitusi UUD RI 1945. Terdapat berbagai perubahan dalam konstitusi, salah satunya adalah perubahan posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tidak lagi menjadi lembaga puncak negara.
Ketua MPR, Bambang Soesatyo, menganggap bahwa setelah 25 tahun sejak terjadinya reformasi pada tahun 1998, sudah saatnya untuk mengkaji ulang struktur lembaga negara yang ada. Reformasi telah menghasilkan perubahan dalam UUD RI 1945 yang sebelumnya dianggap tidak dapat diubah.
Dampaknya adalah adanya restrukturisasi dalam kedudukan, fungsi, serta wewenang lembaga-lembaga negara yang sudah ada, sambil juga menciptakan lembaga-lembaga baru. Termasuk dalam hal ini adalah perubahan status MPR yang sebelumnya merupakan lembaga puncak, kini menjadi lembaga tinggi negara.
Bambang Soesatyo menyampaikan dalam pidato pembukaan Sidang Tahunan MPR Tahun 2023 di Kompleks Gedung MPR/DPR pada Rabu (16/8/2023), bahwa MPR tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat seperti yang diamanatkan oleh UUD RI 1945.
“Majelis (MPR,-red) tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur UUD RI Tahun 1945,” kata Bambang.
Salah satu bentuk implementasi kedaulatan rakyat adalah melalui penyelenggaraan pemilu, yang diwajibkan oleh Pasal 22E UUD 1945. Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa pemilu, yang diadakan setiap 5 tahun sekali, terkait dengan masa jabatan anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden. Masa jabatan seluruh menteri kabinet juga mengikuti masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang ditetapkan oleh UUD 1945, yaitu 5 tahun.
Namun, Bambang Soesatyo menghadapi pertanyaan tentang apa yang terjadi dalam situasi darurat menjelang pemilu, seperti bencana alam besar, perang, pemberontakan, atau pandemi yang sulit ditangani dengan cepat.
Apa yang terjadi jika ada keadaan darurat negara yang mencegah pelaksanaan pemilu sesuai perintah konstitusi? Pertanyaan ini mencakup situasi di mana tidak ada Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terpilih sebagai hasil dari pemilu.
Dalam konteks ini, Bambang Soesatyo bertanya siapa yang bertanggung jawab secara hukum untuk mengatasi situasi darurat tersebut dan lembaga mana yang memiliki kewenangan untuk menunda pemilu.
Dia juga berfokus pada bagaimana pengaturan konstitusional yang sesuai jika pemilu harus ditunda dan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD, dan DPR beserta para menteri sudah berakhir. Semua pertanyaan ini, menurutnya, tidak diatur dalam konstitusi dan membutuhkan perhatian sungguh-sungguh dari warga negara.
Bambang Soesatyo mengemukakan bahwa sebelum adanya amandemen konstitusi, MPR memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Ketetapan (Tap) yang mengatur untuk mengisi celah ketidakjelasan dalam konstitusi.
Pertanyaannya adalah apakah MPR masih memiliki kewenangan tersebut setelah amandemen? Pertanyaan ini, menurutnya, sangat penting untuk dipertimbangkan demi menjaga keselamatan dan integritas bangsa dan negara.
“Hal itu memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari kita semua sebagai warga bangsa,” ujarnya.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa sebagai wujud dari prinsip kedaulatan rakyat, MPR memiliki kewenangan dan kewajiban hukum untuk mengambil keputusan atau penetapan yang berfokus pada pengaturan guna menghadapi dampak dari situasi darurat fiskal atau politik yang tidak dapat diprediksi dan dikendalikan dengan wajar.
Menurut Bambang Soesatyo, idealnya MPR harus dikembalikan menjadi lembaga puncak negara, sejalan dengan pandangan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, yang diungkapkan pada perayaan Hari Ulang Tahun Lemhanas ke-58 beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, muncul wacana tentang penundaan pemilu tahun 2024. Banyak kalangan elit politik dari berbagai partai yang mengutarakan hal tersebut, bahkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat juga mengeluarkan keputusan terkait gugatan perdata yang diajukan oleh Partai Prima untuk menghentikan rangkaian pemilu. Namun, penundaan tersebut bertabrakan dengan ketentuan dalam UUD 1945.
Editor : Ifan Jafar Siddik
Artikel Terkait