BOGOR, iNewsBogor.id - Lapak-lapak di Jalur Puncak bukan hanya sekedar tempat berjualan, tetapi juga warisan turun-temurun bagi banyak keluarga.
Masroh, misalnya, telah berjualan di sana sejak neneknya. Namun, penertiban paksa membuat mereka kehilangan mata pencaharian dan memutus mata rantai sejarah keluarga.
Masroh, salah seorang pedagang yang telah berjualan selama 30 tahun, mengaku sangat terpukul karena kehilangan mata pencahariannya. Ia khawatir masa depannya dan keluarganya akan terancam.
Kebijakan relokasi ke Rest Area Gunung Mas oleh Pemkab Bogor mendapat penolakan keras dari para pedagang. Masroh dan pedagang lainnya menilai bahwa lokasi baru tersebut tidak menjanjikan dan tidak akan menghasilkan keuntungan yang sama seperti sebelumnya.
"Dari nenek saya, 30 (tahun), sebelum saya lahir sudah ada. Ini mata pencaharian saya dari dulu, masa depan saya, dari nenek saya, ibu-ibu saya, anak saya," kata Masroh di lokasi, Senin (26/8/2024).
Pedagang mie instan dan kopi ini pun mengaku tidak ingin di relokasi ke Rest Area Gunung Mas. Karena, tempat dari pemerintah itu tidak menjanjikan.
"Saya menolak rest area, karena tempatnya tidak menjamin. Di sini (pinggir Jalan Raya Puncak) sudah banyak langganan dari dulu," ungkapnya.
"Kalau ramai aja Sabtu-Minggu paling Rp1 juta," sambungnya.
Untuk diketahui, hari ini Pemkab Bogor melakukan penertiban bangunan atau kios liar tahap 2 di Jalur Puncak, Kabupaten Bogor. Terdapat 196 bangunan yang akan dibongkar oleh petugas.
Dari jumlah tersebut, sekitar 90 bangunan sudah dibongkar secara mandiri oleh pedagang. Tetapi, ada juga yang berusaha mempertahankan lapak yang menjadi mata pencahariannya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait