Beginilah Islam Menjamin Kehidupan Beragama di Era Umar dan Shalahuddin 

Furqon Munawar
Kitab suci umat Islam, Al-Quran.(Foto:Ist)

Umar bin Khattab dan Shalahuddin al Ayyubi merupakan dua sosok agung yang sangat lekat dalam memori umat Islam. Kebesarannya bukan hanya diakui umat Islam, bahkan non Islam.

Dua sisi kepahlawanan yang begitu melekat di benak umat Islam dari dua sosok ini adalah pembebasan  Baitul Maqdis serta toleransi yang begitu tinggi menjamin kehidupan beragama umat lain. Berikut faktanya.

Era Umar bin Khattab

Pada tahun 15 H / 636 M, disaksikan oleh Khalid bin Walid, Amru bin Ash, Abdurrahman bin ‘Auf dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhum, perjanjian agung yang diinisiasi oleh Umar bin Khattab r.a. (w. 644 M) di Bumi Baitul Maqdis menorehkan sejarah baru bagi kerukunan umat beragama. Pasalnya, pada momentum sangat bersejarah ini, Khalifah Kedua ini membuat perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Elia.

Bagi yang memperhatikan dan menelaah secara saksama kandungan perjanjian ini, maka tidak akan terbantahkan bahwa di dalamnya mengandung jaminan keamanan bagi pemeluk agama.

Perjanjian ini berisi jaminan keamanan bagi penduduk Elia. Keamanan menyangkut jiwa, harta, gereja, salib, orang lemah, orang merdeka, dan semua agama. Gereja dilindungi. Tidak akan dirusak, dikurangi, bahkan dipindahkan. Termasuk salib dan harta mereka juga dilindungi.

Berikut ini di antara paragraf penting yang termaktub dalam perjanjian tersebut:

"Bismillah al-Rahman al-Rahim. Ini jaminan keamanan yang diberikan hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin kepada penduduk Elia. Umar menjamin keamanan bagi seluruh jiwa, harta, gereja, salib, orang lemah, orang merdeka, dan semua agama yang ada. Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni atau dirusak, dikurangi, atau dipindahkan. Demikian pula dengan salib dan harta mereka. Mereka tidak akan dibenci karena agama.” (Qasim A. Ibrahim, 2014:145, 146)

Melalui perjanjian ini, Umar bin Khattab menunjukkan kesejatian Islam ketika memimpin dunia. Saat berkuasa, ternyata Islam mampu membangun iklim yang sejuk dan nuansa perdamaian bagi para pemeluk agama. Bahkan, sebelum perjanjian Elia pun, saat baru sampai di Baitul Maqdis, toleransinya kepada umat lain sudah tercermin jelas.

Saat memasuki kawasan Baitul Maqdis, Palestina, beliau sempat masuk ke Gereja Al-Qiyamah (Holy Sepulchre). Bahkan sempat duduk di halamannya. Pada saat yang bersamaan, tibalah waktu shalat.

Umar pun berkata, “Aku hendak melaksanakan shalat.” Uskup Agung (Yerusalem Sophronius) pun menawarkan kepadanya untuk menunaikan shalat di Gereja ini, namun tawaran tersebut ditolak agar tak muncul anggapan bahwa gereja tersebut milik Muslim sehingga kelak bisa menimbulkan klaim sepihak.

Karen Amstrong dalam buku “Jerusalem: One City, Three Faiths” (2011:228) mengakui betapa besarnya toleransi Umar kepada pemeluk agama lain. Penulis terkenal Inggris ini mencatat: “He presided over the most peaceful and bloodless conquest that the city had yet seen in its long and often tragic history ("Dia memimpin penaklukan paling damai dan tak berdarah yang pernah disaksikan kota itu dalam sejarahnya yang panjang dan seringkali tragis,")

Tak hanya itu, saat orang Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan, perusakan harta benda, pembakaran simbol agama, pengusiran, ataupun penjarahan. Bahkan tidak ada upaya paksa untuk memeluk agama Islam.

Era Shalahuddin Al-Ayyubi

Tak berbeda dengan Umar bin Khattab r.a. sosok Shalahuddin Al-Ayyubi (w. 1193) ini juga tidak perlu diragukan dalam menjamin kehidupan beragama umat lain. Dalam catatan sejarah, di bawah pemerintahan beliau, rakyat hidup aman dan sejahtera. Menariknya, rombongan Kristen dibolehkan berkunjung ke Baitul Maqdis dan semakin hari jumlahnya makin banyak.  

Ketika Richard (penjaga Baitul Maqdis, Nasrani-red) khawatir Shalahuddin marah, akhirnya ia memintanya untuk melarang peziarah yang tidak mendapat izin resmi atau rekomendasi dari Richard. Lalu Apa jawaban Shaladuddin? Pahlawan muslim agung kelahiran Tikrit ini menjawab dalam suratnya, “Mereka sudah datang jauh-jauh untuk berziarah ke tempat suci ini. Jadi tidak mungkin bagiku untuk menghalang-halangi mereka.” (Qasim A. Ibrahim, 2014 : 622)

Selain itu, yang tidak kalah menarik, Muhammad Ash-Shayim dalam buku “Shalahuddin Al-Ayyubi Sang Pejuang Islam”  (2006:51, 52) juga mencatat dengan baik bagaimana toleransi Shalahuddin kepada agama lain. Jauh berbeda perilaku yan diperlihatkan saat pasukan Salib memasuki Baitul Maqdis 1099 M penuh pembantaian, namun Shalahuddin memberi kebebasan dan jaminan keamanan dan sama sekali tidak menyimpan dendam. Beliau menunjukkan simpati, bersikap lemah lembut dan memberi kebebasan kepada pemeluk Nasrani untuk menjalankan ibadah, membebaskan panglima perang Salib dan memberikan waktu 40 hari untuk pergi dari sana.

Karen Amstrong (2011:299) juga mencatat suasana aman ketika Shalahuddin menguasai daerah Ascalon (Asqolan) pada tahun 1187. Penaklukan yang dilakukan oleh Shalahuddin sangat indah. Yerusalem pun menjadi tempat yang aman bagi pemeluk Kristen dan Yahudi. Maka tidak mengherankan bila tokoh sekaliber Shalahuddin ini dihormati kawan maupun lawan. Karena di dalam jiwa tersimpan akhlak luhur yang menjamin keamanan pemeluk agama lain.

Jika ditarik ke era kekinian, boleh jadi kedua sosok ini bisa menjadi inspirasi kepemimpinan bahkan mengambil hikmah bagi pemimpin umat Islam khususnya juga umat lain umumnya. Bagaimana sosok Umar bin Khattab r.a. dan Shalahuddin al Ayyubi memperlihatkan sifat kepemimpinan yang toleran tercermin dengan sangat menawan ketika memegang kendali pimpinan atas umat lain.

Kisah kepemimpinan kedua sosok besar Islam diatas bukan sekadar kata-kata indah, tapi menjadi fakta sejarah.
 

Editor : Hilman Hilmansyah

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network