BOGOR, iNewsBogor.id - Pengelolaan sampah dan dana publik oleh PT Danantara Daya Nusantara kembali menuai sorotan. Indonesian Audit Watch (IAW) menilai proyek Waste-to-Energy (WtE) yang diklaim ramah lingkungan justru berpotensi membebani keuangan negara dan melemahkan otonomi daerah.
Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menegaskan bahwa proyek WtE di bawah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 telah mengaburkan batas antara tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah.
“Bau sampah di Indonesia bukan lagi soal hidung, tapi soal kekuasaan,” ujar Iskandar kepada media di Bogor, Kamis (23/10/2025).
Menurutnya, proyek tersebut berubah arah ketika dikelola oleh PT Danantara Daya Nusantara, badan investasi milik BUMN. Ia menilai proyek yang seharusnya menjadi solusi hijau justru berkembang menjadi ladang bisnis yang beraroma politik.
IAW menilai, penghapusan tipping fee—biaya yang seharusnya dibayarkan pemerintah daerah kepada pengelola sampah—tidak membuat biaya hilang, melainkan berpindah ke PLN dan akhirnya menjadi tanggungan APBN.
“Pemerintah pusat akan jadi penanggung, daerah kehilangan kendali, dan rakyat hanya menjadi penonton,” tegas Iskandar.
IAW juga menyoroti potensi pelanggaran hukum, karena pengelolaan sampah adalah urusan wajib pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam UU No.18 Tahun 2008 dan UU No.23 Tahun 2014. Jika diuji di Mahkamah Agung, Perpres 109/2025 dinilai bisa bertentangan dengan dua undang-undang tersebut.
Data yang dikutip IAW menyebut PLN kini menghadapi kelebihan kapasitas listrik lebih dari 30 persen di sistem Jawa–Bali, namun tetap diwajibkan membeli listrik dari proyek WtE dengan harga US$0,20 per kWh — tiga kali lipat dibanding listrik berbasis batubara (US$0,07 per kWh).
“Kelebihan biaya itu tentu akan disubsidi oleh APBN. Artinya, sampah rakyat dibakar, sekalian uang rakyat juga ikut terbakar,” kata Iskandar.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus. (Foto : IST/FM)
Lebih jauh, IAW menilai Danantara kini berperan seperti special purpose vehicle (SPV) versi negara yang menangani berbagai proyek bermasalah, dari kereta cepat Whoosh hingga WtE.
Skema pembiayaannya disebut mengandung risiko fiskal karena menggunakan standby loan dan jaminan BUMN yang akhirnya kembali membebani keuangan negara.
IAW meminta Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk meninjau ulang kebijakan tersebut dan berdiskusi langsung dengan Presiden Prabowo Subianto.
“Jika ingin membangun ekonomi hijau sejati, bangunlah tata kelolanya, bukan tungkunya. Hijaukan semua daerah, bukan hanya kota yang dianggap menguntungkan,” ujar Iskandar menutup pernyataannya.
Editor : Furqon Munawar
Artikel Terkait
