CIANJUR secara teritorial berbatasan di utara dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi.
Sementara di timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan di selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia.
Cianjur memiliki sumber daya alam dari mulai pegunungan, perkebunan, pertanian, hingga sektor perikanan dan kelautan.
Sejarah terbentuknya Cianjur yang memiliki 32 kecamatan ini cukup panjang. Catatan tertulis mengenai Cianjur ditemukan pada tiga abad sampai empat abad lampau, di masa nusantara masih tersusun oleh kerajaan dan penjajahan kolonial Belanda.
Merangkum dari berbagai literasi termasuk catatan sejarah resmi yang ada di Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur, sekitar tanggal 12 Juli 1677, Raden Wiratanu putra dari R.A. Wangsa Goparana Dalem Sagara Herang, mengemban tugas untuk mempertahankan daerah Cimapag dari kekuasaan kolonial Belanda.
Upaya Raden Wiratanu untuk mempertahankan daerah ini juga erat kaitannya dengan desakan Belanda (VOC) saat itu yang ingin mencoba menjalin kerjasama dengan Sultan Mataram Amangkurat I.
Apalagi sejak tahun 1614 daerah Gunung Gede dan Gunung Pangrango ada di bawah Kesultanan Mataram. Namun sikap patriotik Amangkurat I yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda mengakibatkan ia harus rela meninggalkan keraton tanggal 12 Juli 1677. Kejadian itu menunjukkan bahwa setelah itu Mataram terlepas dari wilayah kekuasaannya.
Sekitar pertengahan abad ke 17 ada perpindahan rakyat dari Sagara Herang yang mencari tempat baru di pinggir sungai untuk bertani dan bermukim. Babakan atau kampung mereka dinamakan menurut nama sungai dimana pemukiman itu berada.
Seiring dengan itu Raden Djajasasana putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga, keturunan Sunan Talaga, terpaksa meninggalkan Talaga karena masuk Agama Islam. Sedangkan para Sunan Talaga waktu itu masih kuat memeluk agama Hindu. Aria Wangsa Goparana kemudian mendirikan Nagari Sagara Herang dan menyebarkan agama Islam ke daerah sekitarnya.
Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari menjadi ibu nagari tempat permukiman rakyat Djajasasana. Kemudian daerah tersebut berkembang pesat baik dari infrastruktur, budaya, agama, hingga kehidupan orang-orangnya.
Apalagi ditopang dengan kesuburan tanahnya yang cocok ditanami berbagai tumbuhan. Sebagai daerah beriklim tropis, maka di wilayah Cianjur utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan.
Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Catatan di Dinas Arsip Kabupaten Cianjur menuliskan, jika saat pergi keluar meninggalkan Talaga, Raden Djajasasana putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga keturunan Sunan Talaga, membawa 100 cacah (rakyat). Dia ditugaskan untuk membuka wilayah baru yang bernama Cikundul.
Pada perjalanan waktu, Raden Djajasasana kemudian berhasil menahan serangan dari pasukan Banten dalam mempertahankan wilayah yang dibangunnya tersebut. Sehingga beliau dianugerahi gelar panglima (Wira Tanu) dan akhirnya dikenal dengan gelar Raden Aria Wira Tanu. Dia kemudian mendirikan Nagari Sagara Herang dan menyebarkan Agama Islam ke daerah sekitarnya.
Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari berubah menjadi ibu nagari tempat pemukiman rakyat Djajasasana. Tempat itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya daerah bernama Cianjur (Tjiandjoer). Raden Aria (R.A) Wira Tanu I kemuduian didapuk menjadi Dalem/Bupati Cianjur pertama dari tahun 1677 hingga 1691. Kemudian dilanjutkan oleh R.A. Wira Tanu II (1691-1707) dan R.A. Wira Tanu III (1707-1727).
Kekuasaan dilanjutkan generasi R.A. Wira Tanu Datar IV, V, VI, dari tahun 1727-1813. Hingga kini sudah tercatat 37 Dalem/Bupati yang memimpin Cianjur.
Cianjur juga dikenal dengan filosopi tentang tiga aspek keparipurnaan hidup, yakni Ngaos, Mamaos, dan Maenpo. Ngaos adalah tradisi mengaji yang mewarnai suasana dan nuansa Cianjur sehingga mendapat julukan kota santri. Pasalnya sejak lahir sekitar tahun 1677, Cianjur dibangun oleh ulama dan santri yang gencar mengembangkan syiar Islam.
Mamaos memiliki arti seni budaya yang menggambarkan kehalusan budi dan rasa menjadi perekat persaudaraan dan kekeluargaan dalam tata pergaulan hidup. Seni mamaos tembang sunda Tembang Cianjuran lahir dari hasil cipta, rasa dan karsa Bupati Cianjur R. Aria Adipati Kusumahningrat yang dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti periode 1834-1862. Seni mamaos ini terdiri dari alat kecapi indung (kecapi besar) dan kecapi rincik (kecapi kecil) serta sebuah suling yang mengiringi panembanan atau juru.
Pada umumnya syair mamaos ini lebih banyak mengungkapkan puji-pujian akan kebesaran Tuhan dengan segala hasil ciptaan-Nya. Sedangkan Maenpo adalah seni bela diri pencak silat yang menggambarkan keterampilan dan ketangguhan. Pencipta maenpo ini adalah R. Djadjaperbata atau dikenal dengan nama R.H. Ibrahim. Aliran ini mempunyai ciri permainan rasa yaitu sensitivitas atau kepekaan yang mampu membaca segala gerak lawan ketika anggota badan saling bersentuhan.
Pada seni bela diri maenpo dikenal ilmu Liliwatan (penghindaran) dan Peupeuhan (pukulan). Jikanfilosofi tersebut diresapi, pada hakekatnya merupakan simbol rasa keberagamaan, kebudayaan dan kerja keras. Sasarannya adalah tercipta keimanan dan ketaqwaan masyarakat melalui pembangunan akhlak yang mulia.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta