Namun, ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, Desmond muda mencoba mandiri. Banyak pekerjaan kasar dilakukannya untuk biaya hidup dan kuliah, termasuk kuli bangunan dan cleaning service di kantor, hingga menarik becak pada malam hari di sekitar Pasa Batuah dan Belauran.
Di kampus, Desmond aktif di Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Unlam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kelompok Studi Islam (KSI), Angkatan Muda Baitul Hikmah dan Lingkungan (KSHL). Ia juga aktif menulis artikel untuk Koran Banjarmasin Post dan Dinamika Berita.
Garis nasib mulai berubah ketika ia dipercaya dalam Program Lingkungan Hidup GTZ (kerjasama Indonesia-Jerman) antara 1989 dan 2004 di Kalimantan Timur.
Setelah hijrah ke Pulau Jawa, Junaidi bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nusantara di Bandung (1996) dan Jakarta (1998) sebagai Direktur. Suatu hari ketika ia menghadiri sidang di pengadilan, kedatangan Junaidi di permasalahkan oleh hakim dan Jaksa karena yang datang bukan Junaidi sebagaimana yang tercantum dalam surat kuasa, tetapi Desmond.
Padahal antara Junaidi dan Desmond itu orangnya sama. Oleh karena peristiwa tersebut, Junaidi kemudian mengusulkan perubahan nama di pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadi Desmond Junaidi Mahesa sampai meninggalnya.
Selain aktif di LBHN, Desmond juga aktif di Presidium Nasional Walhi (1995–1996), Konsorsium Pembaruan Agraria (1994), Forum Demokrasi (Fordem), dan SPIDE (Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Untuk Perjuangan Demokrasi). Setelah bebas dari penculikan, bersama aktivis kampusnya ia mendirikan Yayasan Dalas Hangit (Yadah) di Banjarmasin pada Mei 1998. Ia juga tercatat sebagai Ketua Yayasan LBH Banjarmasin.
Editor : Ifan Jafar Siddik