Jumlah politik dinasti ini meningkat dibandingkan pilkada sebelumnya, yakni periode 2005-2014 terdapat 59 orang, sementara pada pilkada serentak 2015-2018 jumlahnya naik menjadi 86 orang.
Ada lima provinsi di Indonesia di mana kandidatnya terkait dengan dinasti keluarga, yaitu Jawa Tengah (dari 41 pasangan calon, 15 orang merupakan anggota keluarga), Jawa Timur (42 pasangan calon, 13 orang merupakan anggota keluarga), Sumatra Utara (65 pasangan calon, 8 orang merupakan anggota keluarga), Sulawesi Utara (24 pasangan calon, 10 orang merupakan anggota keluarga), dan Sulawesi Selatan (33 pasangan calon, 10 orang merupakan anggota keluarga).
Umar menjelaskan, meskipun politik dinasti sah menurut hukum, namun ia memiliki dampak negatif dalam demokrasi karena mengakibatkan kekuasaan hanya dikuasai oleh segelintir elite dan membuat masyarakat menjadi penonton.
Umar berpendapat di masa depan diperlukan upaya keras untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat dan memilih pemimpin atau anggota legislatif berdasarkan prestasi dan kapasitas mereka dalam membangun masyarakat, bukan berdasarkan faktor keturunan atau kekerabatan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 membatalkan ketentuan yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah petahana juga dianggap sebagai angin segar bagi pelembagaan politik dinasti. Namun, pandangan ini dianggap mengancam demokrasi.
"Politik dinasti tidak dapat berdiri sendiri, tetapi membutuhkan dukungan dari investor politik," kata Umar.
Editor : Ifan Jafar Siddik