get app
inews
Aa Read Next : Rekan Aktivis di Peristirahatan Terakhir Sang Rajawali Ngepret

Kritik Vs Membangun Opini Negatif

Rabu, 02 Agustus 2023 | 18:34 WIB
header img
Ilustrasi Presiden Jokowi mendapat kritik. (iNewsBogor.id/Fatih Amar)

Oleh: Bagas Pujilaksono

(Budayawan/Akademisi Universitas Gadjah Mada)

 

JAKARTA, iNewsBogor.id - Sudah lama saya tidak mendengar pisuhan najis kotor dari poliTikus frustasi (badut politik). Pisuhan najis kotornya saat ini kembali viral di media sosial.

Sepakat, Presiden Jokowi harus dikritik tajam dan keras, soal liberalilasi dan komersialisasi pendidikan nasional, hilirisasi nikel, mobil listrik, industri hulu, dan lain-lain. Namun, tidak boleh menghina dan menghujat presiden. Presiden Jokowi adalah simbol negara. Kita harus menghormati, suka atau tidak suka.

Menghormati Presiden Jokowi bukan berarti harus menjilat, karena tujuannya bukan ngemis jabatan. Namun, perbaikan kondisi bangsa dan negara.

Saya tidak sepakat jika era Pemerintahan Presiden Jokowi disebut rezim. Rezim adalah era sebuah kekuasaan dari Pemerintah yang otoriter, dimana kekuasaan diperoleh dengan cara inkonstitusional. Pemerintahan Presiden Jokowi diperoleh secara demokrastis melalui Piplres yang jujur dan adil. Jadi, jelas bukan rezim, apalagi rezim dholim.

Sebutan rezim hanyalah modus politik, sebagai wujud frustasi kelompok kadrun yang selalu kalah dalam Pilpres.

Cara-cara demokratis selalu keok, maka dimunculkan istilah rezim, agar cara-cara mereka yang inskonstitusional bisa dibenarkan secara politik. Misal, people power, turunkan Jokowi, dan lain-lain. Kampungan!

Kadrun getol menyuarakan demokrasi dan kebebasan, untuk menghancurkan demokrasi dan kebebasan itu sendiri.

Tetap bersikap kritis, jauh lebih terhormat, daripada ngembek-ngembek ngemis jabatan ke Presiden Jokowi. 

Benarkah Dia sedang mengkritik Presiden Jokowi?

Kritik itu selalu disertai alternatif solusi. Pokok bahasan yang dikritik jelas, dikaji secara akademis. Lalu, disodorkan sebuah alternatif solusi. Terhormat.

Menurut saya, omongan-omongan si Dia bukan kritik. Karena, pokok bahasannya tidak jelas dan nalar kajiannya bundhet, degleng, dan kenthir. Lebih sebagai upaya membangun opini negatif terhadap Presiden Jokowi, yang sifatnya sangat subyektifnya, murni buah dari kebencian dan kedengkian hatinya.

Setelah opini negatif tercipta, versi Dia, maka sah baginya untuk menghina Presiden Jokowi dengan pisuhan-pisuhan super najis. Polanya selalu sama, menempatkan diri sebagai orang paling tahu, padahal tidak tahu apa-apa, dengan omongan sampahnya, ingin dijadikan rujukan bagi banyak orang.

Saya rasa ini sudah kebangetan/keterlaluan. It is getting too much. Aparat penegak hukum, dalam hal ini Polri, harus segera bertindak tegas, menjaga Kehormatan Presiden Jokowi sebagai simbol negara.

"Demokrasi yang kita bangun adalah demokrasi yang bermartabat, beretika dan bermoral."

Kebebasan berbicara di ruang publik bukan hal yang liar, brutal, biadab dan meresahkan masyarakat secara luas. Dan, berlaku dua arah: yang omong bebas, yang mendengar omongan tersebut juga bebas merespon/bersikap.

Kadrun maunya, Dia bebas sebebas-bebasnya berbicara, orang lain disuruh diam dan terima. Sebaliknya, jika orang lain berbicara yang menyinggung Kadrun, langsung lapor Polisi dengan dalih Penistaan Agama. Terimakasih.

Editor : Ifan Jafar Siddik

Follow Berita iNews Bogor di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut