JAKARTA, iNewsBogor.id - Sidang dengan agenda mediasi perkara utang-piutang yang berujung pada sengketa tanah dan bangunan, yang menyeret Putri Zulkifli Hasan, anak perempuan Menteri Perdagangan RI sekaligus Ketua Umum Partai Amanat Nasional (Ketum PAN), Zulkifli Hasan, kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (24/08/2023).
Dalam mediasi yang sedianya mempertemukan antara penggugat dan para tergugat tersebut, ternyata tidak dihadiri para tergugat termasuk Putri Zulkifli Hasan selaku tergugat III, dan hanya dihadiri penggugat saja, dalam hal ini Aziz Anugerah Yudha Prawira (sebagai penggugat I) dan Binar Imammi (sebagai penggugat II).
Menurut kuasa hukum penggugat, Yayan Riyanto, setelah menunggu sekian lama dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB, pihak tergugat tidak juga menampakkan batang hidungnya.
"Karena tidak ada kabar, mediasi akhirnya ditunda dan akan dilanjutkan kembali pada tanggal 21 September 2023, hari Kamis, jam 10.00 WIB," ujar Yayan kepada wartawan.
Pihaknya sendiri menyayangkan ketidakhadiran dari para tergugat. "Kalau tidak hadir kan makin tidak jelas penyelesaian perkara ini," ucap Yayan.
Sedari awal, kata Yayan, Putri Zulkifli Hasan memang tidak pernah datang menghadiri sidang. Putri hanya mengutus kuasa hukumnya untuk menghadiri sidang dan patut disayangkan pada mediasi, dengan agenda menghadirkan para prinsipal dari pihak penggugat dan tergugat, Putri lagi-lagi tidak hadir.
"Yang jelas penggugat ingin rumah (yang menjadi obyek sengketa) dikembalikan ke penggugat dan penggugat akan membayar semua utang-utangnya, termasuk bunganya. Ini awalnya pinjam-meminjam malah rumahnya yang hilang. Yang kami sayangkan, pihak notaris, yang membuat perjanjian utang-piutang menjadi perjanjian jual-beli rumah," papar Yayan.
Dijelaskannya, bahwa perjanjian yang tepat itu perjanjian pinjam-meminjam, bukan jual-beli, kalau memang ada jual-beli, itu yang dibuat Akta Jual-Beli (AJB). Lebih lanjut, Yayan pun mengungkapkan bahwa tergugat I diduga mengirim orang untuk mendatangi dan mengintimidasi kliennya, agar mencabut perkara.
"Kejadian dugaan intimidasi itu tanggal 14 Agustus lalu, orang itu datang ke rumah, tidak ditemui, dan lalu menghubungi lewat WhatsApp dan telepon, yang intinya, meminta perkara untuk tidak diteruskan," beber Yayan.
Pihaknya menyayangkan tindakan seperti itu, karena pada saat sidang lalu, pihaknya bertemu dengan kuasa hukum para tergugat. "Kan seharusnya tinggal diomongin, mereka ada kuasanya, dan saya ada. Kenapa tidak diomongin? Kalau ada apa-apa, hubungi saya. Kenapa malah menghubungi klien kami, penggugat II yang namanya ada di sertifikat? Kok malah menyerang orang yang tidak ada hubungannya?," jelas Yayan.
Sebelumnya, kata Yayan, dirinya menjadi kuasa hukum dari para penggugat, yang terdiri dari Aziz Anugerah Yudha Prawira (penggugat I), Binar Imammi (penggugat II), Galuh Safarina Sari Kalmadara (penggugat III) dan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Lie Andry Setyadarma (tergugat I), Gianda Pranata (tergugat II), Putri Zulkifli Hasan (tergugat III), dan H Syafran (tergugat IV) serta Kepala Kantor ATR/Badan Pertanahan Nasional Jakarta Timur (turut tergugat).
“Perkara bermula ketika Aziz Anugerah Yudha Prawira (Yudha), membutuhkan pinjaman uang, dan oleh temannya, diperkenalkan ke Gianda Pranata, yang bisa mencairkan pinjaman dengan jaminan sertifikat rumah. Dijanjikan akan mendapat pinjaman uang Rp5,5 miliar, dengan jaminan sertifikat hak milik Binar Imammi, dengan dikurangi atau dipotong untuk bunga dan lain lain, hingga total Rp1,7 miliar,” ujar Yayan.
Sebagai jaminan utang, Yudha menyerahkan sertifikat hak milik rumah di Jalan Nusa Indah Raya Blok H kavling No. 2,3,4 Kelurahan Cipinang Muara Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur, atas nama Binar Imammi, dan diserahkan ke H Syafran (tergugat IV). Pada 28 September 2020, terjadi pertemuan antara para penggugat, tergugat I, tergugat II, dan disepakati perjanjian pinjaman uang dan dibuatkan akta-akta oleh tergugat IV di kantor notaris tergugat IV, yang ternyata isinya adalah Akta Pengikatan Jual Beli No.08/2020, Akta Kuasa Untuk Menjual No.09/2020, Akta Perjanjian Pengosongan No.10/2020.
“Pada awalnya para penggugat sempat protes dan bertanya kenapa dibuatkan Akta Pengikatan Jual Beli, bukan perjanjian pinjam uang? Namun dijawab oleh tergugat II bahwa prosedurnya seperti ini, dan ini hanya formalitas saja, dan karena dijawab hanya formalitas, kemudian para penggugat percaya dan kemudian penggugat II dan penggugat III menandatangani akta-akta yang dibuat tersebut,” tukas Yayan.
Setelah tanda tangan, tergugat I mentransfer uang ke penggugat III sebesar Rp5,5 miliar rupiah, dan langsung dipotong Rp1,7 miliar. Seiring dengan berjalannya waktu, penggugat I hendak memperpanjang pinjaman, tapi tergugat I mengatakan, bahwa dia sudah membeli rumah obyek sengketa dan bukan pinjaman. “Padahal komunikasi penggugat I dengan tergugat II dan tergugat I, tergugat IV menyatakan bahwa transaksi yang dilakukan adalah pinjaman. Bahkan ketika penggugat I hendak melunasi pinjaman juga dipersulit komunikasinya. Dan diketahui kemudian, Sertifikat Hak Milik atas obyek sengketa telah dibalik nama dari nama penggugat II menjadi nama tergugat I, tanpa adanya pemberitahuan atau peringatan kepada penggugat I atau penggugat II, di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur (Turut Tergugat),” ujar Yayan.
Karena tidak ada titik temu, antara para penggugat dengan tergugat I dan tergugat II, maka pada tanggal 10 November 2021, penggugat II membuat laporan polisi di Bareskrim Polri, dengan terlapor tergugat I dan kawan kawan. “Bahwa kemudian obyek sengketa diketahui telah beralih kepemilikan dari tergugat I menjadi milik tergugat III, yang di ketahui juga bahwa obyek sengketa telah direnovasi, dan ketika ditanyakan ke turut tergugat diketahui apabila obyek sengketa telah menjadi milik tergugat III.
Menurut Yayan, perbuatan para tergugat merugikan kliennya, karena apabila obyek sengketa dijual akan menghasilkan uang senilai kurang lebih 30 miliar rupiah. Karena itu, selain melapor polisi, pihaknya juga mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur.
Editor : Ifan Jafar Siddik