BOGOR, iNewsBogor.id - Rombongan kedua Daulat Budaya Nusantara dari sembilan agenda ruwatan nusantara tiba di Jepara Jawa Tengah, setelah sebelumnya memulai awal agenda dari Kediri Jawa Timur, September lalu.
Terkait agenda, pimpinan rombongan Daulat Budaya Nusamtara yang juga Doktor Ilmu Pertahanan, Teguh Haryono mengatakan pertahanan terbaik bagi bangsa Indonesia adalah kebudayaannya.
Teguh paham betul kondisi dunia belakangan ini sedang tidak baik baik saja. Fenomena El Nino atau musim kemarau yang di perkirakan berlangsung sampai dengan bulan Maret 2024, perang Rusia-Ukraina yang belum berakhir, ditambah lagi konflik Hamas-Israel dan suhu politik dalam negeri yang makin memanas jelang pemilu 2024, membuat pertahanan kebudayaan menjadi langkah penting untuk menjaga stabilitas pertahanan dan keamanan nasional.
"Ruwatan ini akan dilakukan oleh Sujiwo Tejo dengan menggelar Wayangan dan Festival Pasar Rakyat sebagai bentuk Daulat Budaya Nusantara. Terima kasih untuk Indika Energy yang punya komitmen untuk merawat pertahanan kebudayaan bersama kami", jelas Teguh Haryono dalam keterangan tertulis kepada awak media, Sabtu, (21/10/2023) kemarin.
Menurut Teguh, pertahanan terbaik bangsa Indonesia adalah kebudayaannya, dan Daulat Budaya Nusantara ini diselenggarakan sebagai bagian dari Ruwatan (memperbaiki kondisi) kebudayaan yang terkoyak seperti semangat gotong royong yang diwariskan leluhur.
Rencananya, ronbongan Daulat Budaya Nusantara akan mengadakan Ruwatan Nusantara di sembilan titik: Kediri Jawa Timur, Jepara Jawa Tengah, Purwakarta Jawa Barat, Anambas Kepulauan Riau, Alor Nusa Tenggara Timur, Pidie Aceh, Nusantara Kalimantan Timur, Ternate Maluku dan Jayapura Papua.
"Prakarsa Daulat Budaya Nusantara yang saya gagas bersama Gus Benny, Mbah Tejo, Kyai Paox dan Gus Hamid, tidak akan terlaksana tanpa komitmen dari Indika Energy yang akan keliling di Sembilan titik di Indonesia” sambung Teguh.
Ritual penting yang dilakukan kali kedua ini berada di desa Tempur, sebuah desa di kecamatan Keling kabupaten Jepara, yang letaknya tepat berada di kaki Gunung Muria. Salah satu lokasi ritual di Desa Tempur yakni Candi Angin yang menjadi candi yang kerap kali menjadi tujuan wisata para pelancong. Ada beberapa cerita tentang Candi Angin ini, diantaranya berkaitan dengan kerajaan Kalingga, menjadi peninggalan dari tokoh pewayangan dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai petilasan Wali Songo.
“Candi Angin ini peninggalan sangat penting di tanah Jawa. Salah satu candi tertua berdasarkan bukti arkeologi di jaman Ratu Shima yang memerintah kerajaan Kalingga sekitar abad ke 6 masehi. Candi Angin ini menjadi tujuan saya bersama sedulur-sedulur Daulat Budaya Nusantara ke Desa Tempur di Keling untuk mengawali ritual Ruwatan”, tutur Gus Benny Zakaria yang juga pengasuh Pondok Alam Adat Budaya Nusantara Mahapatih Narotama Mojokerto.
Setelah mengunjungi Candi Angin, rombongan kecil Daulat Budaya Nusantara melanjutkan perjalanan naik ojek selama 1 jam dari Desa Tempur ke pos pendakian Gunung Muria. Trek yang dilalui adalah jalan setapak di lereng pegunungan Muria dari sisi barat laut yang sebagian jalurnya telah dicor beton dan melewati banyak kebun warga yang ditanami kopi.Setelah satu jam perjalanan, ojek akan berhenti di komplek petilasan Pandawa : Eyang Pandu Dewanata, Eyang Kunti dan Eyang Nakula Sadewa, sebab tidak ada jalan lagi untuk motor. Perjalanan berikutnya ke Puncak Songolikur, puncak tertinggi Gunung Muria ditempuh dengan jalan kaki.
“Di bulan Suro atau Muharam, banyak warga masyarakat wilayah pegunungan Muria dan sekitarnya naik kesini. Banyak yang ziarah ke Puncak Songolikur tempat petilasan Tri Tunggal : Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wening dan Sang Hyang Tunggal. Beberapa hanya mendaki gunung Muria menikmati keindahan alam” jelas Gus Hamid, penggerak Dunia Santri Comunnity yang asli dari dari Jepara.
Hiking atau jalan pendakian menuju puncak Songolikur membutuhkan waktu sekitar 2 jam jalan kaki untuk seorang pendaki pemula. Sementara untuk para porter warga lokal hanya butuh waktu satu jam. Jalurnya terjal antara 30-45 derajat kemiringannya. Beberapa trek diberi alat bantu mendaki seperti tali webing dan tiang kayu yang diikat ke pohon perdu yang dikenal warga lokal dengan nama Wit Pranakan (Sebuah pohon yang tumbuh sampai di puncak Songolikur).
“Sang Hyang Wenang artinya yang berwenang kuasanya, Sang Hyang Wening artinya yang jernih dan sangat tenang dan Sang Hyang Tunggal artinya hanya ada satu dzat (Tuhan) atau Esa yang mengendalikan alam raya” tegas Sujiwo Tejo, Ki Dalang yang akan meruwat dengan wayangan di Lapangan Sono Keling, Desa Keling, Kecamatan Keling Jepara pas tanggal 4 November 2023 nanti.
Setelah menanam pring kuning dan mengikat pita merah putih di Puncak Songolikur, sebagai ritual penghormatan kepada para leluhur di petilasan-petilasan, rombongan kecil Daulat Budaya Nusantara kemudian turun gunung dan melanjutkan perjalan ke Pulau Karimunjawa untuk menjalankan ritual di beberapa makam penting. Antara lain makam Sunan Nyamplungan dan Sayyid Abdullah Sunan Legon Kluwak.
Tim Daulat Budaya Nusantara dalam perjalanan menuju puncak Songolikur. (Foto : Istimewa)
“Karimunjawa ini pulau yang sangat penting dalam konteks sejarah peradaban nusantara, sebab pulau ini menjadi wilayah singgah sebelum koloni India masuk ke Jawa mendirikan kerajaan -kerajaan bercorak Hindu dan Budha (Kalingga). Juga tempat ampiran Syech Subakir yang membawa koloni Arab sebelum menyebarkan Isalm ke Jawa dan menjadi Crimon Jawa State atau pulau tempat buangan (penjara) penjahat/ bajak laut saat Carel Rudolph von Michalofski memerintah menjadi Asisten Residen Belanda selama 20 tahun anatara 1818 – 1838 di Pulau Karimunjawa," terang Kyai Paox Iben, pengasuh Pesantren Kebudayaan Ndalem Wongsorogo yang juga peneliti budaya nusantara.
Editor : Furqon Munawar