BOGOR, iNewsBogor.id - Penggusuran masyarakat terus menjadi isu penting di Indonesia, meskipun berbagai regulasi telah diterbitkan untuk menangani dampak sosial. iNewsBogor.id berkesempatan mewawancarai Dr. Rimun Wibowo, Dosen Prodi Ilmu Lingkungan FTS, UIKA Bogor, sekaligus Pemerhati Sosial & Lingkungan, sejumlah tantangan utama dan solusi terkait penggusuran dibahas secara mendalam, mengingat Perpres No. 62 Tahun 2018 dan revisinya, Perpres No. 78 Tahun 2023, belum sepenuhnya menjawab persoalan ini.
Kerangka Hukum Pengelolaan Dampak Sosial
Dasar hukum pengelolaan dampak sosial dalam pengadaan tanah di Indonesia diatur melalui Peraturan Presiden No. 62 Tahun 2018 dan revisinya pada Perpres No. 78 Tahun 2023. Regulasi ini mencakup proyek yang dikategorikan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Proyek Non-PSN. Namun, menurut Dr. Rimun, regulasi ini memiliki cakupan yang terlalu sempit, sehingga banyak proyek pembangunan lainnya tidak terakomodasi secara hukum.
Betapa tidak, karena Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 20 Tahun 2020 menjelaskan kriteria untuk Proyek Non-PSN, antara lain: (i) proyek harus mendukung kebijakan strategis nasional; (ii) proyek memiliki luas minimal 5 hektar atau nilai minimal 100 miliar rupiah; dan (iii) lokasi proyek sesuai dengan RDTR. Jika RDTR belum ada, mengacu pada RTRW atau rencana tata ruang lainnya.
Dosen Prodi Ilmu Lingkungan FTS, UIKA Bogor, sekaligus Pemerhati Sosial dan Lingkungan, Dr. Rimun Wibowo. (Foto : Istimewa/iNewsBogor.id))
"Lingkup regulasi ini harus diperluas agar mencakup semua jenis proyek pembangunan, bukan hanya PSN dan Non PSN sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 (Perpres 62/2028). Dengan demikian, setiap proyek yang membutuhkan tanah dapat memiliki tanggung jawab sosial untuk melindungi masyarakat terdampak," ujar Dr. Rimun.
Editor : Furqon Munawar