Paradoks Hilirisasi Nikel dan Ancaman Limbah Batre
Oleh : Rimun Wibowo*
BOGOR, iNewsBogor.id - Indonesia berada di garis depan transisi energi global. Sebagai produsen nikel terbesar dunia, negeri ini memainkan peran penting dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV), simbol masa depan energi bersih. Pemerintah mendorong hilirisasi nikel melalui pembangunan kawasan industri smelter di berbagai daerah, mulai dari Sulawesi hingga Maluku Utara.
Namun, di balik ambisi hijau tersebut, muncul paradoks serius. Alih-alih mendorong keberlanjutan, hilirisasi nikel justru menimbulkan kerusakan lingkungan dan ancaman sosial jika tidak dikelola secara bijak.Luka di Hulu:
Eksploitasi Nikel yang Masif
Hilirisasi menjanjikan nilai tambah ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Tetapi realitas di lapangan memperlihatkan kerusakan lingkungan yang luas. Di Morowali, Konawe Utara, dan Halmahera Tengah, hutan-hutan dibabat dan perairan tercemar tailing tambang. Masyarakat adat kehilangan akses terhadap ruang hidupnya.
Ironisnya, sebagian besar smelter nikel masih bergantung pada PLTU batu bara. Laporan IEEFA (2024) menyebutkan bahwa kapasitas captive coal plant untuk industri mencapai 13 GW dan diperkirakan bertambah 21 GW lagi. Data Global Energy Monitor juga menunjukkan lonjakan tajam kapasitas PLTU captive sejak 2019, sebagian besar untuk industri nikel dan aluminium.
Editor : Furqon Munawar