Kisah Nyata di Sukabumi: Istri Main Aplikasi Pencarian Jodoh dan Mengarang Cerita Jadi Janda
Sukabumi, iNewsBogor.id – Di balik kehidupan rumah tangga yang tampak harmonis, banyak perempuan menyimpan luka yang tak kasat mata. Rasa sepi, kurangnya perhatian, hingga komunikasi yang dingin sering kali membuat seseorang mencari pelarian. Salah satu bentuk pelarian itu kini hadir dalam bentuk baru — aplikasi pencarian jodoh.
Seorang perempuan asal Sukabumi, sebut saja “NI”, mengaku tak pernah menyangka bahwa iseng mengunduh aplikasi kencan bisa mengubah jalan hidupnya. Ia seorang tenaga kesehatan, berpendidikan, dan bersuami. Namun di balik kesibukan dan senyumnya, ia merasa terasing dalam rumahnya sendiri.
“Saya merasa seperti hidup berdua tapi sendiri. Suami sibuk bekerja, jarang ada waktu bicara. Kadang saya ingin sekadar didengarkan,” ujarnya dalam sesi konseling di sebuah lembaga keluarga di Sukabumi.
Awalnya, NI hanya ingin tahu bagaimana aplikasi pencarian jodoh bekerja. Ia membuat akun dengan foto dirinya, namun dalam kolom status ia menulis “janda ditinggal meninggal suami.”
Alasannya sederhana: ia takut dihakimi dan tidak ingin ada yang tahu bahwa dirinya sudah menikah.
“Saya hanya ingin punya teman bicara, tapi saya malu kalau orang tahu saya istri orang,” katanya lirih.
Namun dunia maya tidak pernah benar-benar aman. Dari obrolan ringan, ia mulai menjalin komunikasi intens dengan beberapa pria. Ia merasa dihargai, diperhatikan, dan diakui — sesuatu yang sudah lama tidak ia dapatkan di rumah.
Rasanya seperti menemukan kembali dirinya yang hilang.
Dalam waktu singkat, NI terbiasa hidup dengan dua dunia: dunia nyata sebagai istri dan dunia maya sebagai “janda.”
Ia membangun kisah baru — mengarang cerita bahwa suaminya meninggal dua tahun lalu akibat kecelakaan, dan bahwa ia kini hidup sendiri mencoba bangkit. Cerita itu membuat banyak orang bersimpati, bahkan ada yang jatuh hati padanya.
“Saya tidak tahu kapan mulai kehilangan kendali. Awalnya saya hanya ingin didengar, tapi lama-lama saya ikut terbawa perasaan,” akunya.
Salah satu pria yang dikenalnya lewat aplikasi bahkan datang ke Sukabumi untuk menemuinya. Pertemuan itu membuat NI semakin terjebak dalam kebohongan yang ia ciptakan sendiri.
Hingga suatu hari, suaminya menemukan jejak percakapan di ponsel.
Kebohongan itu akhirnya terbongkar. Rumah tangga NI hampir hancur. Ia dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa pelarian yang ia anggap “tidak berbahaya” justru meninggalkan luka dalam bagi dirinya dan keluarganya.
“Saya kehilangan kepercayaan dari suami, kehilangan kehormatan di mata orang lain. Tapi yang paling berat adalah kehilangan rasa hormat pada diri sendiri,” ujarnya dengan mata berkaca.
Kini, NI aktif mengikuti program konseling keluarga dan menjadi relawan kampanye Digital Ethics for Marriage di Sukabumi, membantu pasangan lain memahami pentingnya menjaga keintiman dan kepercayaan di era digital.
Psikolog keluarga, Rina Santoso, M.Psi, menjelaskan bahwa kasus seperti ini semakin sering terjadi. Aplikasi pencarian jodoh kini tak hanya digunakan oleh lajang, tetapi juga oleh mereka yang sudah menikah namun merasa tidak bahagia.
“Kebohongan sering muncul sebagai mekanisme pertahanan diri. Orang yang merasa tidak dihargai akan berusaha menciptakan versi baru dirinya di dunia maya — versi yang lebih disukai, lebih diterima,” terang Rina.
Namun menurutnya, pelarian semacam ini ibarat minum air laut — semakin diminum, semakin haus. Karena di balik rasa bahagia sesaat, ada kebohongan yang perlahan menggerogoti nurani.
Kisah NI menjadi pelajaran bagi banyak pasangan. Bahwa kesepian dalam pernikahan adalah sinyal untuk memperbaiki, bukan alasan untuk berbohong. Dunia digital menawarkan banyak ruang pelarian, tetapi hanya komunikasi jujur dan kasih sayang yang mampu memperbaiki luka dalam hubungan.
“Sekarang saya tahu, perhatian kecil dari pasangan jauh lebih berarti daripada seribu pesan manis dari orang asing,” tutup NI dengan senyum tipis.
Editor : Ifan Jafar Siddik