"Selain itu juga soal penerimaan negara bukan pajak (PNBP), Presiden menjelaskan, bahwa industri smelter membayar PNBP. Padahal sama sekali tidak. Negara mendapat PNBP dari pertambangan nikel, bukan dari industri smelter. Sehingga tidak ada kontribusi PNBP dari industri smelter," ujarnya.
Di sisi lain, lanjut Mulyanto, saat dibolehkannya ekspor bijih nikel, Pemerintah justru memungut bea ekspor sehingga sebelumnya ada penerimaan negara dari bea ekspor bijih nikel.
"Saya sendiri tidak yakin, dalam skema yang ada sekarang ini, negara benar-benar diuntungkan dari program hilirisasi nikel. Apalagi kalau yang diekspor adalah NPI dan Fero Nikel, produk nikel setengah jadi dengan nilai tambah rendah. Padahal cadangan nikel kita, sebagai SDA strategis dan kritis, menurut para ahli tinggal
7 tahun lagi. Ini kan harusnya dieman-eman," katanya.
Untuk diketahui, Presiden Jokowi di Stasiun Dukuh Atas, Kamis (10/8) merespons tudingan ekonom senior UI Faisal Basri soal hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini justru menguntungkan China.
Menurut Jokowi tuduhan itu tidak benar dan mempertanyakan metode yang digunakan Faisal Basri dalam menyatakan China dan negara lain diuntungkan dari kebijakan hilirisasi itu.
Editor : Ifan Jafar Siddik
Artikel Terkait