Paradoks Hilirisasi Nikel dan Ancaman Limbah Batre

Wahfid
Dr. Rimun Wibowo, Dosen Ilmu Lingkungan dan Wakil Dekan Fakultas Teknik dan Sains, Universitas Ibn Khaldun Bogor. (Foto : Istimewa)

Hanya segelintir smelter, seperti milik PT Vale di Sorowako, yang menggunakan energi terbarukan. Maka timbul pertanyaan: apakah ini transisi energi bersih, atau hanya peralihan dari satu bentuk polusi ke bentuk lainnya?

Bahaya di Hilir: Ancaman Limbah Baterai

Di sisi hilir, ancaman tak kalah serius datang dari limbah baterai. Baterai lithium-ion mengandung logam berat berbahaya seperti nikel, lithium, dan kobalt. Tanpa sistem daur ulang yang baik, limbah ini dapat mencemari tanah dan air serta memicu gangguan kesehatan serius seperti kerusakan ginjal dan kanker.

Limbah baterai kecil, seperti dari mainan atau remote, masih sering dibuang ke TPA bersama sampah rumah tangga. Padahal ini termasuk limbah B3. Sayangnya, Indonesia belum memiliki sistem daur ulang baterai yang terintegrasi. Prinsip tanggung jawab produsen (EPR) belum berjalan optimal, dan kesadaran publik masih rendah.Jika tidak segera ditangani, Indonesia bisa menghadapi krisis ekologis baru akibat timbunan limbah baterai kendaraan listrik.

Risiko Strategis: Kehabisan Nikel di Era AI

Selain dampak ekologis, eksploitasi nikel tanpa strategi keberlanjutan juga menyimpan risiko strategis. Saat dunia memasuki era AI dan otomasi, kebutuhan baterai akan meningkat pesat. Jika cadangan nikel Indonesia habis dalam waktu dekat, kita bisa kehilangan posisi tawar dalam teknologi masa depan.

Editor : Furqon Munawar

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network