BOGOR, iNewsBogor.id – Fenomena Rojali atau "rombongan jarang beli" kini menjadi tren yang semakin terlihat di pusat perbelanjaan besar di kota-kota besar, tak terkecuali di Kota Bogor. Masyarakat kini datang ke mal bukan untuk berbelanja, tetapi hanya untuk jalan-jalan, berfoto, atau sekadar melihat-lihat barang tanpa niat untuk membeli.
Berbagai istilah unik muncul untuk menggambarkan kebiasaan ini, mulai dari Rohana (rombongan hanya nanya) hingga Rosali (rombongan suka selfie), yang menunjukkan beragam alasan orang datang ke mal tanpa melakukan transaksi.
Berikut ini adalah beberapa tipe rombongan yang kini banyak ditemui di pusat perbelanjaan di Kota Bogor:
ROJALI (Rombongan Jarang Beli): Kelompok orang yang datang hanya untuk jalan-jalan, menikmati suasana, atau nongkrong tanpa berniat membeli barang.
ROHANA (Rombongan Hanya Nanya): Mereka yang datang hanya untuk bertanya tentang produk, harga, atau detail barang tanpa ada niat membeli.
ROHALUS (Rombongan Hanya Elus-elus): Rombongan yang suka mengelus barang di toko, menikmati sentuhan barang tanpa membeli.
ROHALI (Rombongan Hanya Lihat-Lihat): Mereka hanya melihat-lihat barang di toko-toko, tetapi tidak berbelanja.
ROCEGA (Rombongan Cek Harga): Rombongan ini datang untuk memeriksa harga barang, namun akhirnya memilih untuk berbelanja di tempat lain dengan harga lebih murah.
ROMANSA (Rombongan Manis Senyum Aja): Kelompok ini datang untuk berbincang atau bersantai tanpa melakukan transaksi.
ROTASI (Rombongan Tanpa Transaksi): Mereka datang ke mal, berkeliling, tetapi tidak melakukan transaksi apapun.
ROSALI (Rombongan Suka Selfie): Rombongan yang mengunjungi mal lebih untuk berfoto-foto daripada berbelanja.
ROCADOH (Rombongan Cari Jodoh): Mereka yang berkunjung ke mal dengan tujuan mencari teman atau pasangan.
ROCUTA (Rombongan Cuci Mata): Rombongan yang sekadar menikmati pemandangan barang-barang di mal tanpa niat membeli.
ROMUSA (Rombongan Muka Susah): Rombongan ini datang dengan ekspresi frustasi atau kecewa, mungkin karena keterbatasan anggaran atau tidak puas dengan harga barang.
Pengamat Ekonomi: Fenomena ini Dipicu oleh Penurunan Daya Beli
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, memberikan pandangannya terkait fenomena ini. Menurut Bhima, fenomena Rojali mencerminkan perubahan besar dalam pola konsumsi masyarakat, terutama setelah pandemi.
"Fenomena ini sudah cukup lama, tetapi setelah pandemi, semakin banyak orang yang hanya datang ke mal untuk jalan-jalan atau sekadar bersantai tanpa berbelanja. Hal ini terutama dipengaruhi oleh tekanan ekonomi yang menurunkan daya beli masyarakat," ujar Bhima.
Bhima menjelaskan bahwa kelas menengah adalah segmen yang paling terpengaruh, di mana banyak dari mereka yang harus menahan pengeluaran mereka karena inflasi, tingginya biaya hidup, dan beban cicilan utang.
"Masyarakat lebih fokus pada kebutuhan pokok daripada barang sekunder dan tersier yang biasa dijual di mal. Ini juga didorong oleh e-commerce yang menawarkan harga lebih murah dan promo menarik yang tidak tersedia di pusat perbelanjaan," jelas Bhima.
Adaptasi Mal dan Perubahan Pola Konsumsi
Bhima juga menambahkan bahwa pusat perbelanjaan kini harus beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen ini.
“Pusat perbelanjaan harus mengalihkan fokus mereka dari hanya menawarkan barang-barang sekunder dan tersier menjadi lebih banyak menyediakan hiburan, makanan dan minuman, serta tempat rekreasi keluarga. Mal yang beradaptasi dengan konsep ini cenderung lebih berhasil bertahan," tambah Bhima.
Fenomena Rojali ini diperkirakan akan berlanjut dalam jangka panjang, seiring dengan perubahan pola konsumsi yang didorong oleh faktor ekonomi dan teknologi. Bhima memperkirakan bahwa pusat perbelanjaan yang tidak dapat beradaptasi dengan perubahan ini akan menghadapi kesulitan dalam mempertahankan daya tarik bagi konsumen.
BPS: Fenomena Tidak Memengaruhi Angka Kemiskinan Secara Signifikan
Sementara itu, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, mengungkapkan bahwa fenomena Rojali tidak serta-merta berpengaruh pada angka kemiskinan di Indonesia. Menurut Ateng, kelompok masyarakat kelas atas memang terlihat menahan konsumsi mereka, tetapi hal ini lebih berhubungan dengan kebiasaan konsumsi yang berubah daripada masalah kemiskinan.
“Fenomena ini lebih terlihat di kelompok atas yang mulai menahan konsumsi mereka, tapi tidak berpengaruh langsung terhadap angka kemiskinan secara keseluruhan,” jelas Ateng.
Fenomena Rojali yang muncul di pusat perbelanjaan Kota Bogor menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam perilaku konsumsi masyarakat. Tekanan ekonomi, inflasi, serta perkembangan e-commerce menjadi faktor utama yang mempengaruhi pola belanja masyarakat. Pusat perbelanjaan kini harus beradaptasi dengan perubahan ini agar tetap relevan, dengan berfokus pada hiburan, kuliner, dan rekreasi keluarga, bukan hanya berfokus pada barang-barang sekunder dan tersier.
Bagi banyak konsumen, mal kini menjadi tempat untuk berkeliling, berfoto, atau menikmati waktu bersama keluarga tanpa perlu mengeluarkan uang untuk membeli barang. Industri ritel perlu berinovasi untuk mengikuti perubahan perilaku ini agar tetap menarik bagi pengunjung yang semakin selektif dalam pengeluaran mereka.
Editor : Ifan Jafar Siddik
Artikel Terkait
