Di sisi lain, jumlah penerima zakat (mustahik) justru meningkat. Data Bank Dunia menunjukkan, kelompok fakir miskin masih berkisar 60 persen dari populasi. Selain itu, ada kelompok masyarakat yang terjerat pinjaman daring hingga mencapai 120 juta orang, pekerja migran yang tereksploitasi, dan ratusan ribu pelajar penerima bantuan pendidikan.
“Realitas ini memperlihatkan jurang yang lebar antara kekuatan zakat sebagai sumber daya dengan pengelolaannya. Kepemimpinan BAZNAS ke depan harus paham sisi teologis sekaligus piawai dalam manajemen modern dan strategi pemberdayaan,” ujar Sodiq.
Ia menekankan, program zakat perlu diarahkan ke pendayagunaan yang produktif. Indonesia memiliki lebih dari 66 juta pelaku UMKM, mayoritas muslim. Jika mereka mendapat dukungan dana zakat produktif beserta pelatihan manajemen, akses pasar, dan penguatan kapasitas, hal itu diyakini dapat melahirkan kemandirian sekaligus muzakki baru.
Sodiq juga mendorong adanya lima langkah strategis dalam transformasi BAZNAS. Pertama, membangun ekosistem zakat dengan sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil. Kedua, digitalisasi zakat dengan basis data muzakki dan mustahik yang terintegrasi. Ketiga, penguatan kapasitas amil sebagai agen perubahan.
Keempat, pembentukan unit khusus pemberdayaan zakat produktif untuk merancang program jangka panjang dan pendampingan usaha. Kelima, memperluas kolaborasi dengan sektor pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan lingkungan.
“Indeks Pembangunan Manusia, indeks kesehatan, hingga indeks kebahagiaan seharusnya menjadi ukuran nyata dari keberhasilan zakat. Saatnya BAZNAS menjadi motor kemandirian umat,” ujar Sodiq.
Editor : Ifan Jafar Siddik
Artikel Terkait
