"Kita tahu saat ini ada aturan yang tumpang tindih antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja, padahal kondisi ABK kita banyak yang tidak bisa menunggu. Disaatkita tengah menggelar aksi, kita tidak tahu ada berapa banyak yang butuh bantuan segera di tengah laut,” katanya.
Afdillah menambahkan, laporan hasil kolaborasi Greenpeace Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebutkan para ABK mengalami kondisi kerja buruk atau kerja paksa sesuaidengan 11 indikator kerja paksa ILO seperti kekerasan, penipuan, isolasi, pembatasan gerak, lembur berlebihan, pemotongan upah dan jeratan hutang.
Terlebih para ABK asal Indonesia juga kerap bekerja di kapal ikan asing jarak jauh yang didugaterlibat dalam praktik perikanan ilegal (IUU fishing).Hingga kini, Cina tercatat sebagai pemilikmayoritas kapal penangkap ikan di lautan. Diketahui praktik IUU Fishing dan pelanggaran HAM banyak dilakukan oleh kapal penangkap ikan berbendera Cina.
"Terbaru, Departemen keuangan AS memberi sanksi pada Dalian Ocean Fishing Co, yang merupakan pemilik 26 kapal asal Cina. Kapal-kapal ini mayoritas mendapat izin menangkap tuna. Tapi faktanya, banyak ABK kita yang dipaksa secara ilegal mengambil sirip hiu atau bahkan membunuh hewan laut yang dilindungi,” kata Afdillah.
Foto : iNewsBogor.id/ist.
Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara pemasok ABK Perikanan terbanyak untuk bekerja di kapal ikan asing. Banyak manning agency dengan mudah merekrut danmengeksploitasi para ABK dengan berbagai iming-iming. Kondisi ini diperburuk dengan lemahnya regulasi yang melindungi para ABK sejak perekrutan hingga bekerja di lautan lepas.
Editor : Furqon Munawar