JAKARTA, iNewsBogor.id - Direktur Eksekutif Trust Indonesia Azhari Ardinal menilai, Pemilu 2024 masih merupakan kompetisi begawan politik seperti SBY, Mega, Jusuf Kalla, Surya Paloh dan Prabowo Subianto. Dengan cara pandang tersebut, bisa difahami bagaimana sebenarnya rumitnya mengatur formasi koalisi politik dan tentu saja pasangan Capres-Cawapres.
Dan nama-nama yang muncul saat ini, sebut saja Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Airlangga Hartarto, Sandiaga Uno, Erick Thohir dianggap sebagai proxy atau aktor yang menjalankan kepentingan para begawan politik tersebut. Sehingga manuver politik mereka pun juga tak lebih dari sekedar papan catur permainan politik para begawan.
"Analisis sementara Trust Indonesia ini dimaksudkan guna memotret hubungan SBY-Mega dan pengaruhnya bagi dinamika pilpres yang kompleks. Terutama dalam konteks kompleksitas pencalonan Anies-Ganjar terkait posisi Demokrat," papar Ardinal dalam tulisannya, Selasa, (13/6/2023).
Seteru SBY-Mega
Hubungan SBY dan Mega hingga kini masih belum membaik. Keduanya masih terjebak dalam kenangan perseteruan masa lalu.
Singkat cerita, kala itu SBY berhasil menjadi Presiden mempecundangi Mega dan PDIP yang tampil sebagai pemenang kedua pemilu legislatif. Mega batal menjadi Presiden untuk kali kedua. Mega pun menaruh janji untuk beroposisi dengan pemerintahan SBY selama 10 tahun (2004-2014).
Lalu apa hubungan dengan Pilpres 2024?
Tidak sulit sebenarnya membangun dua koalisi besar jika SBY dan Mega tidak memendam perseteruan abadi. Sebab, jika perseteruan itu tidak terjadi, mungkin saja kita akan melihat koalisi Anies-Ganjar terbentuk sehingga Pilpres hanya menyisakan dua nama pasangan Capres-Cawapres dan terasa sangat efisien.
Akan tetapi, konsepsi tersebut sangat mustahil terjadi. Pasalnya, Mega dan SBY tidak akan memiliki pandangan visi yang sama karena problem perseteruan politik sedari awal.
Menarik sebenarnya melihat posisi Jokowi di tengah perseteruan SBY-Mega. Bagaimana secara politis, bandul posisi Jokowi akan lebih cenderung mengikuti posisi Megawati sebagai Ketua Umum PDIP.
"Tetapi, sikap Jokowi tentu akan sangat bergantung pada sikap Megawati. Siapapun akan bersikap dan mengambil langkah politik sesuai dengan feedback yang diterima dirinya. Jokowi yang sering distempel sebagai ‘Petugas Partai’ tentu akan melawan bila sering direndahkan di depan publik. Masih terngiang dalam ingatan semua, bagaimana Mega sering merendahkan posisi Jokowi sebagai ‘Petugas Partai’ dan menyebut Jokowi tidak akan menjadi Presiden tanpa perintah Mega dan PDIP,"
Tak terkecuali dalam penentuan Capres Ganjar Pranowo. Sekali lagi, Jokowi cukup direndahkan. Dalam banyak laporan media, Jokowi ditenggarai tidak dilibatkan dalam penentuan Capres Ganjar. Jokowi justru hanya diberitahu pada saat-saat terakhir sebelum deklarasi Ganjar sebagai Calon Presiden pada 21 April lalu.
Berbeda dengan Mega, SBY justru tidak pernah mengolok-olok Jokowi. SBY justru melakukan kritik secara elegan kepada Jokowi. Meski Jokowi meneruskan pemerintahannya, SBY tidak pernah mengintervensi atau cawe-cawe pemerintahan Jokowi.
Karena itu, dalam posisi tersebut, peluang kerjasama Jokowi-SBY justru lebih terbuka. Dalam banyak rumor, Jokowi justru ingin ‘Presiden Terpilih’ nanti akan loyal kepada dirinya dan bukan justru kepada Mega. Dan, pilihannya tentu bukan Ganjar Pranowo yang sudah cenderung dilabeli sebagai milik Mega dan PDIP.
Andai SBY Memilih Jokowi
Jika hubungan SBY dan Mega tak kunjung membaik, maka hubungan SBY dan Jokowi justru berpotensi menghangat dan berujung pada koalisi. SBY dan Jokowi tidak pernah menunjukkan perseteruan terbuka.
Mungkin dalam konflik partai Demokrat, ada bibit seteru SBY dengan Jokowi. Tapi hingga kini rasanya Jokowi tak pernah menyerang SBY dan Demokrat secara terbuka. Bahkan dalam 6 tahun terakhir (Untuk menunjukkan komunikasi yang tidak macet), Jokowi justru sudah menerima SBY secara resmi di Istana sebanyak dua kali.
Padahal, boleh jadi sebenarnya Jokowi bisa memilih mengulang posisi SBY kala menjadi Presiden satu dasawarsa lalu: ikut cawe-cawe dalam pemilihan Ketum partai dan mungkin pengambilalihan partai. Waktu itu, semua orang sangat yakin penguasa Istana ikut campur dalam pengambilalihan partai. PKB diambil cak Imin, sementara Golkar diambil JK. Poin utamanya, Istana memegang remote control atas suksesi atau pergantian Ketua Umum partai.
Karena itu, SBY mesti bersikap realistis atas apa yang tengah dihadapi partainya saat ini. Perang klaim keabsahan demokrat menjadi sinyal bahwa Jokowi bisa saja berpihak pada 'pengambilalihan' Demokrat. Karena, hemat saya, tidak ada alasan bagi Hakim untuk tidak mengabulkan gugatan Moeldoko mengambil alih demokrat.
Untuk itu, penting sebenarnya bagi SBY bersikap realistis: membangun kompromi dengan Jokowi. Sebab, saat ini yang terpenting justru bukan membangun koalisi Anies melainkan mempertahankan kepemilikan di partai Demokrat itu sendiri. SBY tahu hal tersebut tidak bisa dilakukan secara bersamaan melainkan harus dipilih secara parsial terlebih dahulu.Caranya, bisa jadi memilih bersama dengan koalisi Jokowi untuk melawan hegemoni Mega dan PDIP.
Bukankah jauh lebih menguntungkan bagi SBY jika beriringan dengan penguasa saat ini dan potensial ikut berkuasa dalam pemerintahan ke depan. Hemat saya, SBY pasti akan mengambil quote bijak yang sering didengar: “Musuh dari Musuhmu adalah Temanmu,”.
Karena itu, jika Demokrat keluar dari Koalisi Anies maka secara realistis mereka akan memilih bergabung dengan Koalisi Prabowo karena hanya koalisi ini yang secara terbuka akan berhadap-hadapan dengan Koalisi PDIP. Meskipun hampir dapat dipastikan, Surya Paloh dan Nasdem juga akan melakukan akrobatik politik pada waktu-waktu terakhir (Injury Time). Misalnya bergabung dengan Golkar dan PKS yang akan membentuk koalisi baru demi mendapatkan efek ekor jas atau coattail effect: Anies-Airlangga atau Airlangga-Sandi.
Direktur Eksekutif Trust Indonesia, Azhari Ardinal. (Foto : Istimewa)
Akhirnya, Pilpres 2024 memang masih menjadi milik para Begawan Politik. Tapi Pilpres ini bisa menjadi arah pendulum politik baru dan tentu poros politik baru di luar PDIP. Dan, SBY dapat menjadi kunci terakhir untuk melakukan akrobat politik melawan hegemoni Mega.
Editor : Furqon Munawar