JAKARTA, iNewsBogor.id - Organisasi masyarakat Ahlulbait Indonesia atau ABI mengadakan acara gathering dengan media massa pada Selasa (18/7/2024).
Acara yang digelar di kantor DPP ABI, Jakarta Selatan, ini menyinggung sejumlah pembahasan, salah satunya terkait konsep "Wilayatul Faqih" dalam konteks Indonesia.
Ketua Umum ABI, Habib Zahir bin Yahya, mengatakan acara tersebut bertujuan untuk menyampaikan pandangan ABI mengenai implementasi Wilayatul Faqih, sebuah konsep pemerintahan yang berasal dari ajaran Syiah di Iran.
"Wilayatul Faqih merupakan gagasan tentang pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Faqih, yang dipandang memiliki otoritas agama dan kemampuan untuk memimpin masyarakat," kata Zahir di hadapan para wartawan.
Zahir menjelaskan, konsep Wilayatul Faqih hanya bisa diterapkan jika mendapatkan kesepakatan dari seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini senada dengan mekanisme yang dilakukan oleh pendiri Republik Islam Iran, Imam Khomeini, yang pada 1979 silam membentuk Wilayatul Faqih berdasarkan kesepakatan kolektif masyarakat.
"Jika mayoritas masyarakat menolak, maka gagasan Wilayatul Faqih tidak akan dapat diimplementasikan di Indonesia," kata Zahir.
Tak Relevan
Dalam paparannya, Zahir mengacu pada beberapa negara di Timur Tengah seperti Azerbaijan, Bahrain, Irak, dan Kuwait, yang penduduknya mayoritas memeluk Mazhab Syiah, namun tak menerapkan sistem pemerintahan berbasis Wilayatul Faqih karena tak ada kesepakatan dari masyarakatnya.
"Kondisi dan konteks politik setiap negara berbeda, sehingga apa yang berhasil di negara-negara tersebut tidak selalu relevan atau dapat diterapkan secara langsung di Indonesia," tegas Zahir.
Ahlulbait Indonesia (ABI) dalam acara media gathering dengan sejumlah media massa nasional di DPP ABI, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Selasa (18/7/2023). (Foto: Dok. ABI).
Sejarah juga menjadi bahan refleksi dalam acara gathering tersebut. Dijelaskan bahwa ajaran Syiah mengenai prinsip Wilayatul Faqih muncul dari figur Ali bin Abi Thalib, sepupu Nabi Muhammad SAW, yang pada masa lalu menjadi pemimpin Muslim, namun kemudian tidak dipilih oleh mayoritas masyarakat sebagai pemimpin pada saat itu.
Ali kemudian menerima keputusan tersebut dengan patuh dan menghormati otoritas pemerintah yang ada saat itu.
"Kami, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, meyakini bahwa bangsa ini telah menetapkan sistem pemerintahannya, dan kami memahami bahwa Indonesia telah mencapai keputusan final dalam cara mengelola negara," jelas Zahir.
Dua Otoritas Faqih
Mengenai Wilayatul Faqih, Zahir menerangkan sosok seorang Faqih memiliki dua otoritas: otoritas dari dirinya sendiri sebagai pemimpin berdasarkan ajaran agama, serta otoritas yang bergantung pada penerimaan dan dukungan dari masyarakat.
Oleh karena itu, keberadaan seorang Faqih sebagai pemimpin harus didasarkan pada akseptabilitas masyarakat secara keseluruhan.
"Kriteria yang tinggi ini sangat sulit dicapai dan hanya orang-orang tertentu yang mampu menyandangnya," katanya.
Acara gathering diakhiri dengan harapan penjelasan ABI dapat membantu masyarakat Indonesia memahami pandangan Ahlulbait Indonesia tentang Wilayatul Faqih.
Zahir menegaskan Indonesia harus terus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kesepakatan bersama dalam memilih sistem pemerintahan yang sesuai dengan identitas dan karakteristiknya sebagai negara berbhineka tunggal ika.
Di akhir acara, peserta gathering dari media massa diberikan kesempatan untuk bertanya dan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang pandangan Ahlulbait Indonesia terkait Wilayatul Faqih.
Editor : Ifan Jafar Siddik