Oleh karenanya, lanjut mantan Wakil Menteri ATR/BPN ini, buruh harus dijaga daya belinya karena kontribusi mereka yang signifikan terhadap pertumbuhan konsumsi agregat.
“Konsumsi agregat berkontribusi sebesar 52 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Upah buruh di Indonesia relatif rendah dari total biaya produksi. Menurut hasil survei Bank Dunia, komponen gaji karyawan hanya 9-12 persen dari total biaya produksi”, terangnya.
Surya menambahkan, bahwa pendekatan pembangunan pemerintah saat ini, sebagaimana dibela Prabowo, justru mengeluarkan kelas menengah ini, termasuk buruh, dari perhatian. Padahal, sambungnya, upah layak bagi buruh adalah pintu masuk untuk mendorong percepatan peluang menuju Indonesia Emas 2024.
“Sampai saat ini, kita belum sungguh-sungguh berupaya memperbaiki indikator menjadi negara berpendapatan menengah atas, seperti pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan pemerataan pendapatan”, ujar Surya.
Surya juga menyoroti soal UU Cipta Kerja, yang diklaim pemerintah sangat memudahkan investasi. Ia melihat justeru UU itu mendorong ekspansi bisnis yang menyingkirkan rakyat dari ruang hidupnya, juga merusak lingkungan secara besar-besaran.
“Kenyataannya pengangguran justeru makin meningkat sekarang ini. Saya jadi ragu Prabowo ini paham situasi di lapangan atau tidak, tawarannya cenderung mengambang dan agak blunder, setidaknya di soal buruh ini”, pungkasnya.
Editor : Lusius Genik NVL